Oleh: Ridwan Fawallang SHI |
Mohammad Abied Al-Jabiri adalah seorang pemikir Arab kontemporer, Al-Jabiri lahir di Figuig Maroko pada tanggal 27 Desember 1935. Ia seorang akademisi, Guru Besar pada bidang Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V, Rabab. Tulisan ini sengaja menampilkan salah satu karya terpenting Al-Jabiri, sebab dialah pemikir yang pertama menpopulerkan terminologi nalar dalam dunia filasafat, yaitu tentang nalar politik Arab (Al-‘Aqlus Siyâsil ‘Arabî. Gagasan tersebut merupakan bagian dari “Kritik Nalar Arab”, memiliki keterkaitan dengan judul tulisan ini yakni mengenai konstruksi pemikiran adat pada tanggungjawab dalam mendorong peradaban bangsa.
Nalar politik Arab yang dimaksud Al-Jabiri dalam bukunya (Al-‘Aqlus Siyâsil ‘Arabî) tak lain adalah “tendensi-tendensi tindakan politik, serta manifestasi teoritis dan praksisnya yang bersifat sosiologis”.politik dalam wujudnya merupakan kekuasaan, sementara sosiologi diartikan dalam wujud kajian terhadap masyarakat bagian-bagian kelompok maupun individu baik sebagai aktor maupun objek politik. Relasi kajian Al-Jabiri dengan jargon kota ber[Adat] dimana al-jabiri membedah tentang politik dan sosial, yakni mengkaji tentang konstruksi nalar politik bangsa Arab yang memiliki tendensi fanatisme (al-ashabiyyah), kekerabatan(al-qarabah),dan spirit keagamaan (religion).
Sementara Bone adalah entitas social yang menjunjung falasafah kemanusiaan dalam ranah spirit siri na passe menjadi ‘changer’ dalam menggerakkan aktivitas social,budaya dan politik. Konteks terminologi tendensi fanatisme dimaknai ada komitmen kepemilikan nilai adat (sense of belonging) kepada bangsanay menuju ideologi sebagai ilmu pengetahuan (ideologic to sciense) dengan maksud menjaga nama baik budaya baik moral maupun karya, kekerabatan dimaknai persaudaraan.
Nalar Bone
Bone sebagai entitas salah satu komunitas suku berdiri sejak abad XIV atau 1330 M. Posisi suku Bone dapat menjadi instrumen nalar untuk menjaga nilai adat secara logis dan bertanggungjawab, hal ini dilihar singkron pada redaksi jargon adat yang termanifestasikan dalam nilai siri’ na passé yakni, yang memiliki integritas, kewibawaan (akhlaq) ( Q.S/58:11), bahwa derajat dengan nalar merupakan dua mata pisau yang saling membutuhkan. Prasyarat entitas suku dapat dihormati apabila ia memiliki derajat integritas, sebaliknya suku dapat diposisikan pada derajat integritas adalah mereka memiliki nalar intelektual, seorang akademisi tentu ia memiliki nalar untuk berpikir. Kepemimpinan (leadership) yang cerdas dan modern untuk melanjutlkan nilai kemanusiaannya.
Sebagai suku menjadi suatu keniscayaan bahwa Bone menjadikan adat dan budaya dalam pranata yang ada sebagai laboratorium persemaian pemimpin-pemimpin, yang diharapkan dapat menjadi embrio pemimpin Bone yang dapat mengembang amanah gerakan pencerahan dan pencerdasan ditengah krisis nalar yang menimpah daerahnya saat ini. Sebuah kritik mengarah pada daerah ini dimana ada hipotesa bahwa mundurnya disebabkan bone tidak lepas dari jauhnya pemimpin dari nilai-nilai adat dalam memimpin. Sementara adat merupakan basis social suku Bone diharapkan dapat menghindari anggapan bahwa sang panglima terpaksa meninggalkan prajuritnya.
Nalar Peradaban
Konstruksi epistemologi pemikiran Bone bermuara pada pengarusutamaan (mainstream) cita-cita gerakan suku ini senantiasa berada pada posisi strategis dalam bidang kasta social, budaya dan politik di kemasyarakatan. Gerakan keadaban diorientasikan bahwa bone merupakan komunitas menjadikan basis spirit gerakan nalar budaya religis. Modal nalar spiritual Bone diharapkan memiliki paham Islam berkemanjuan (progressive). Jayalah Bone
Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar