Meresapi Makna " Makkalu Dapureng Wekka Pitu" -->
Cari Berita

Meresapi Makna " Makkalu Dapureng Wekka Pitu"

Pesta Pernikahan 
Oleh : La Rumpa

Mengungkap makna salah satu filosofi Bugis "Makkalu Dapureng Wekka Pitu" yang secara bahasa dapat diterjemahkan dengan kata "mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali". filosofi ini di peruntuhkan bagi mereka pemuda (kallolo) bugis sebelum melepas masa lajangnya dimana pemuda tersebut sudah mencapai masa yang mapan untuk membina mahlighai bahtera rumah tangga.

Tentu kita masih ingat pesan orang tua (leluhur) kepada pemuda bugis yang ingin segera mengahiri masa lajangnya yaitu  "Makkalu Dapureng Wekka Pitu" apalagi sudah memiliki niat untuk berumah tangga karena perkawinan adalah momen yang sangat ditunggu-tungu kaum muda untuk melepas masa lajangnya.  terlebih lagi apabilah calon yang akan dinikahinya adalah orang yang dicintainya. oleh karena itu penulis mencoba mengungkap  makna dibalik  "makkalu dapureng wekka pitu "

Ketika pemuda  menyampaikan niat kepada orang tuanya kalau dirinya sudah siap untuk menikah, maka orangtua yang murni keturunan bugis dan faham pesan-pesan leluhur tentu orang tua membalasnya dengan kata "mulle mua makkaluri dapurenge wekka pitu" artinya sanggupkah kau tawaf (mengelilingi) dapur sebanyak tujuh kali.

Tawaf di dapur sebanyak tujuh kali bukanlah hal yang sulit, jangankan tujuh kali, seribu kalipun pasti banyak yang bisa apa lagi melihat dapur khas orang Bone paling besar satu meter persegi.

Tapi bukan itu yang dimaksud, kata itu punya makna yang mendalam, punya pesan yang tersirat bagi pemuda yang siap untuk menikah. oleh karena itu bagi pemuda yang suda mau menikah wajib mendalami makna "makkaluri dapureng wekka pitu"

Untuk mengelilingi dapur sebanyak tuju kali seorang pemuda harus mempersiapkan tiga kayu dalam artian agar dapur itu tetap beroperasi  yaitu Kayu (aju) pertama "mulle mua ga, polengangi aju  tunung bine mu na wedding madummpu dapureng na" ( sanggupkah kau menyiapkan kayu bakar untuk istrimu supaya dapurnya bisa berasap). artinya seorang suami harus bisa menafkahi memberi makan terhadap istri dan menjadi penopang hidup bagi keluarga untuk mencari rezki supaya bisa menutupi belanja sang istri. karena setelah menikah pastinya kita sudah malu untuk terus dibiayai oleh orang tua, oleh karena itu setelah menikah kita harus mandiri dan mampu menafkahi keluarga kita sendiri.

Kayu (aju) kedua  "mulle mua ga, polengangi waju binemu na tutukengi welang pelang na" sanggupakah kau menyediakan baju buat istrimu untuk menutupi tubuhnya). sebagai seorang laki-laki normal, pastinya kita mau istri kita tampil menarik nan elegant, untuk tampil menarik nan elegant pastinya harus ditopang dengan  pakaian yang wajar, oleh karena itu sebagai suami yang baik kita harus menyiapkan kebutuhan sang istri itu. alangkah malunya seorang suami kalau istrinya jarang ganti baju, apalagi watak orang bugis "maraja siri"(rasa malunya tinggi) dan juga sanggupkah menyiapkan tempat tinggal buat istri mu supaya ada tempat bagi kamu untuk bercengkrama dan membina keluarga).

Setelah menikah pastinya kita sudah memiliki kehidupan sendiri dan tidak lagi tinggal  di rumah orang tua  atau rumah mertua, oleh karena itu seorang suami harus menyiapkan diri untuk hidup mandiri dan membuat rumah sendiri. ada istilah bugis mengatakan " namua lo maruru, assaleng bolata mato, magello mua pa'panedding,e" ( biar mau rubuh, asal rumah sendiri, perasaan akan senang)

Kayu (aju) ketiga "engka moga aju-aju poncommu lega-lega ditenggana dua batu-batu mu" (adakah kayu-kayu pendekmu yang berada ditengah-tengah dua batu-batu mu) aju ini merupakan aju yang paling penting, karena ini menyangkut tentang kelanjutan generasi dan juga kepuasan seorang wanita, banyak wanita yang mengatakan walau bergelimang harta  tapi tidak pernah diberikan nafkah batin maka sama halnya bohong.

Muncul pertanyaan, kenapa orang tua kita dahulu menyuruhkita mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali ? ternyata orang tua mengisyaratkan kalau diwaktu lajang mu kau punya nyawa (sumange) satu, maka setelah menikah nyawa (sumange) itu harus bertambah menjadi tujuh (memiliki tanggungjawab moral yang tinggi sebagai bentuk watak putra bugis dalam mengembang amanah sebagai seorang kepala keluarga)

Itulah bagian dari pesan para leluhur dan orangtua kita dahulu yang selalu mempertanyakan kesanggupan kita untuk mengitari dapur sebanyak tujuh kali. kesimpulannya sebelum menikah seorang laki-laki putra bugis harus siap untuk  memenuhi kebutuhan sandang, pangan papan, dan kebutuhan batin sang istri dengan semangat tujuh kali lipat. bagi pembaca,"mulle mua makkaluri dapureng'e wekka pitu ?" pesan yang penuh makna tanppa disadari itu sangat bermamfaat bagi kehidupan setelah memiliki tanggungjawab yang berbeda yaitu sebagi kepala keluarga.

Editor : Al Khair Mappajanci