![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgggOgXiGeyTV-JO2G_Jgb_t_uxO4_Ra0YPpMfBs6bGTT_idrqPCBurvKr_2afBf69DI1u6d_aY701f5cAT6HkTolFrpZgoiT3Dyby0ZREDONjXWjZKiQRBOPYsgW31Y106vA5b7N0d5Thq/s1600/wanita+bugis.jpg)
Kerajaan-kerajaan
Bugis, dikenal sejak dulu sangat egaliter dan demokratis. Pada
masa-masa awal pemerintahannya, pemilihan raja didasarkan pada
kecakapan individual dan kolektif dengan mendudukkan faktor garis
keturunan kebangsawanan di urutan ke sekian. Hal ini sejalan dengan
kearifan lokal masyarakat Bugis yang terungkap dalam peribahasa: Maccai na malempu, Waraniwi na magetteng (Cendekia
lagi jujur, Berani lagi teguh pendirian). Pemimpin yang baik bagi
masyarakat Bugis adalah pemimpin yang cendekia dan jujur serta berani
yang dilengkapi dengan keteguhan pada pendirian yang benar.
Ada
beberapa pemimpin yang muncul dari kalangan jelata, misalnya I
Sangkilang di Gowa akhir abad 18, atau beberapa Arung Matoa Wajo yang
dipilih dari pemimpin-pemimpin kampung. Ada pemeo yang terpatri dalam
benak orang Bugis bahwa pada dasarnya raja adalah rakyat jelata juga,
mereka naik ke tahta pimpinan hanya karena kualitas kemanusiaannya
melebihi yang lain.
Egalitarianisme
Bugis juga diterapkan dalam keseteraan gender. Tidak saja dalam
pranata sosial keseharian, kaum perempuan Bugis ditempatkan di tataran
setara dengan kaum lelaki bahkan dalam sistem politik. Kronik beberapa
kerajaan Bugis semisal Luwu, Bone, Tanete, Soppeng, dan Wajo beberapa
kali mencatatkan raja dari kalangan perempuan. Perempuan Bugis yang
menjadi raja di kerajaannya, tidak saja hanya penghias silsilah saja
(lontaraq), tapi juga berkontribusi aktif untuk kemajuan rakyatnya.
Dalam buku History Of Java (1817) Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis dalam masyarakatnya: “the
women are held in more esteem than could be expected from the state of
civilization in general, and undergo none of those severe hardships,
privations or labours that restrict fecundity in other parts of the
world” [perempuan Bugis Makassar menempati posisi yang lebih
terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan
kekerasan, pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa sehingga
membatasi aktifitas/kesuburan mereka, disbanding yang dialami kaumnya di
belahan dunia lain] (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”:
halaman lxxxvi)
Tak
hanya dihargai pendapatnya, terkadang beberapa perempuan Bugis
terpilih menjadi penguasa di kerajaannya masing-masing. Kesetaraan hak
politik perempuan ini diterima secara sadar dan bertanggung-jawab hampir
di semua wilayah Bugis.
Kronik
raja-raja Bugis mencatat beberapa perempuan Bugis yang pernah
memerintah di masing-masing wilayah diantaranya: We Tenri Rawe (Raja/Pajunge ri Luwu,
abad 14), Adatuang We Abeng (1634, Ratu Sidenreng), Datu Pattiro We
Tenrisoloreng (1640-Bone), We Batari Toja Daeng Tallang (1724 – Bone),
Adatuang Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne (1700an, Sidenreng), Soledatu We
Ada (ratu Soppeng, istri Arung Palakka, 1670), We Maniratu Arung Datak
(1840-Bone), Besse Kajuara (1860-Bone), Andi Ninong dan Petta
Ballasari (Ranreng Matoa Wajo, abad 20), Andi Depu, Datu Balanipa
Mandar, Andi Pancaetana (1915, penguasa Enrekang).
Di
antara perempuan-perempuan penguasa itu, tercatat bahwa Besse Kajuara
We Tenriawaru dan We Maniratu Arung Datak yang gencar melakukan
perlawanan bersenjata melawan kolonial Belanda di masanya.
We Tenri Olle, Memerintah 55 Tahun
Satu
di antara raja perempuan Bugis yang sejatinya berkontribusi banyak
namun senyap di lintas sejarah adalah Raja Tanete, Siti Aisyah We Tenri
Olle putri ke-2 La Tunampare’ To Apatorang Arung Ujung, yang
memerintah kerajaan Tanete cukup lama, selama 55 tahun dari tahun 1855 –
1910. Di tangannya lah, popularitas Tanete melintasi samudera dan
benua hingga ke Eropa melalui kontribusinya menerjemahkan mahakarya
epos Lagaligo dari bahasa Bugis Kuno ke bahasa Bugis umum. Terjemahan
ini kemudian dimanfaatkan oleh seorang peneliti Belanda, BF Matthes
untuk mengadopsinya menjadi tulisan ilmiah yang akan diceritakan
kemudian.
Kronik
hidup We Tenri Olle, penguasa Tanete nan cerdas itu rupanya tak
selengkap kronik penguasa lokal yang lain. Setidaknya dalam penelusuran
di berbagai literatur, tahun kelahiran perempuan cerdas asal Tanete
ini tidak pernah disebutkan. Perempuan peminat sastra dan pemerhati
pendidikan ini hanya disebutkan tahun wafatnya di desa Pancana Tanete
ri lau, yang juga kampung kelahirannya, tahun 1919.
Masa
remaja We Tenri Olle dihabiskan di istana Sultan Tanete yang saat itu
diperintah oleh kakeknya dari pihak ibu: Raja Tanete La Rumpang Megga
Matinroe ri Mutiara. Di tahun 1853, perempuan cerdas ini menemukan
bintang terangnya kala berinteraksi dengan dua peneliti asal Eropa, BF
Matthes dari Belanda dan Ida Pfeiffer asal Austria. BF Matthes, yang
juga mendirikan sekolah di Tanete untuk kaum laki-laki terpandang,
adalah peneliti asal Belanda yang menggali sastra klasik Bugis, I
Lagaligo. Ida Pfeiffer, perempuan petualang asal Austria itu sempat
singgah di kerajaan Tanete dalam perjalanan keliling dunianya.
Interaksi antara Matthes, Pfeiffer dan We Tenri Olla membuka bendala
wawasan Tenri Olla muda untuk berpikiran maju melampaui zamannya.
Saat
naik tahta, We Tenri Olle sejatinya harus menghadapi banyak
pertentangan, bahkan dari ibundanya sendiri, Arung Pancana Collie Pujie.
Sang Ibunda lebih menghendaki La Makkawaru, kakak lelaki sulung Tenri
Olle untuk naik tahta. Tapi intervensi kakeknya La Rumpang – ayah
Tjollie Poedjie yang juga raja Tanete kala itu, membuat penentangan
ibundanya mereda. Terlebih bahwa perilaku keseharian La Makkawaru yang
gemar berjudi dan minuman keras membuatnya tersingkir dari tahta
kekuasaan Tanete, satu hal yang bertolak belakang dengan perilaku Tenri
Olle yang terkenal cerdas, terpelajar dan peminat sastra bugis dan
Islam.
We
Tenri Olle menikah dengan Arung Bakka Soppeng, bernama La Sandji Unru,
dan melahirkan tiga putri: We Pancaiktana Bunga Walie, I Pateka Tana, I
Hawang dan seorang putra, La Sangaji Unru yang kelak meneruskan tahta
ayahandanya sebagai Raja Bakka di Soppeng. Kedekatan antar raja-raja di
daerah Bugis memungkinkan mereka saling kawin mawin untuk
mempertahankan kekerabatan dan stabilitas wilayah.
Kerajaan
Tanete yang dipimpin oleh We Tenri Olle, merupakan kerajaan otonom
kecil seluas 61.180 hektar dengan jumlah penduduk 13.362 jiwa pada masa
itu. Kerajaan kecil ini dipersatukan dari 4 wilayah; Tanete ri Tennga,
Tanete ri Lauq, Tanete ri Aja, dan Gattarang. Sebagaimana daerah lain
di Sulawesi Selatan, mata pencaharian penduduk Tanete adalah bertani
dan nelayan. Saat ini di zaman modern, bekas wilayah kerajaan Tanete
dimasukkan sebagai salah satu wilayah administratif kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan.
Saat
memerintah, We Tenri Olle berusaha mempertahankan pola patron-klien
dengan penjajah Belanda untuk menjaga keberlangsungan kehidupan
masyarakat Tanete. Meski menyadari betapa terhinanya hidup dalam
kungkungan penjajahan formal, namun ratu Tanete ini merasa kestabilan
kerajaan jauh lebih dibutuhkan. Tak ada guna mengobarkan perlawanan
bersenjata, apalagi kukuhnya
kekuatan militer Belanda saat itu tak memungkinkan untuk ditaklukkan.
Namu dalam jiwa dan raganya tetap terpatri akan semangat tanpa menapikan
kodratnya.