Dalam
 bahasa Bugis Kajao adalah cendekiawan, ilmuwan, terpelajar, atau orang 
yang memiliki keahlian tertentu dibanding yang lainnya. Pada masa 
pemerintahan Raja Bone ke-7 (Latenri Rawe BongkangngE) dikenal seorang 
staf ahli kerajaan bidang politik dan pemerintahan, dia adalah 
Lamellong. Karena atas kemampuannya itu maka raja memberinya gelar 
“Kajao”. Karena beliau berasal dari sebuah kampung yang bernama 
Lalliddong (salah satu desa yang masuk wilayah administratif kecamatan 
Barebbo kabupaten Bone sekarang ini) maka lebih dikenal dengan sebutan 
“Kajaolalliddong”. Pada masanya beliau disapa sebagai “Panre Bicara” 
(pandai bicara). Karenanya itu apabila terdapat masalah antara kerajaan 
Bone dengan kerajaan lainnya maka dialah yang mewakili raja Bone. Dan 
atas kepandaiannya berbicara dan kebijakannya yang dapat diterima lawan 
diplomasinya maka Kajaolalliddong sering juga disebut “Diplomat ulung 
dari Tanah Bugis”
Disamping
 itu Kajaolalliddong dikenal juga sebagai seorang yang ahli strategi 
baik pemerintahan maupun perang. Dengan demikian istilah kajao itu 
merupakan pemberian gelar yang diberikan raja kepada Lamellong. 
Petuah-petuah sang kajao banyak diteliti dan dipelajari penulis-penulis 
barat seperti Belanda dan Perancis namun pada umumnya tidak diangkat 
dipermukaan.
                Dikalangan
 bugis Bone sering kita dengar “kajao-kajao” atau “nenek-nenek” artinya 
perempuan yang sudah tua. Kemudian “lato’-lato’  atau 
“kakek-kakek” artinya laki-laki yang sudah tua. Padahal Lamellong 
berjenis kelamin laki-laki. Mengapa tidak digelar sebagai Latolliddong? 
Bukanlah Kajaolalliddong ?. Barangkali argumentasinya seperti ini, bahwa
 maju-mundurnya sebuah rumah tangga, perempuan (isteri)  memiliki
 peranan yang sangat penting. Perempuan memiliki kemampuan yang dapat 
mempengaruhi laki-laki (suami). Mungkin demikian pengejawantahannya 
sehingga Lamellong bukan digelar Latolliddong tetapi Kajaolliddong.
(Teluk Bone)
 

