
Yang namanya lidi bukanlah hal baru bagi kita semua. Lidi dalam bahasa Bugis disebut “adidi” yaitu sejenis benda serba guna yang berasal dari tulang daun kelapa,
ataupun lontar dan sejenisnya. Salah satu kegunaan lidi yang paling
menonjol adalah karena bersifat lentur maka dapat dibuat sapu dengan
menggabungkan beberapa batang lidi menjadi satu kesatuan, yakni
“Sapulidi” dalam bahasa Bugis dianamakan “ Passaring Adidi “
Hingga kini, masyarakat Bugis masih menggunakan sapu lidi sebagai alat pembersih halaman rumah baik di kampung-kampung maupun
sebagian di kota-kota walaupun bermunculan berbagai jenis sapu sebagai
alternatif lain namun Sapu Lidi masih unjuk gigi. Sapu lidi digunakan
untuk mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan. Kesannya memang selalu
bersahabat dengan rasa jijik dan kotor akan tetapi melahirkan sebuah
pesona bersih dan nyaman.
Sebatang
lidi belum seberapa kekuatan yang ditimbulkan namun setelah digabung
menjadi beberapa batang lidi maka akan menjadi kuat. Dengan dasar ini
raja Bone I Lau Ubbi Mata Silompoe Manurungnge ri Matajang menggunakan “Konsep Sapulidi”? untuk mempersatukan kembali rakyat Bone yang pada masa itu terjadi keadaan yang tak menentu.
Konon,
Seorang Ayah yang sedang menghadapi detik-detik akhir hidupnya
tiba-tiba memanggil semua anak-anaknya untuk mendekat. Kemudian menatap
satu demi satu anak-anaknya, lalu berpesan “ Anak-anakku yang kucintai
dan kusayangi, kepadamu semua tak satupun ayah perlakukan selaku anak
manis, Kalian semua kubesarkan dan kubimbing serta kuberikan sesuatu
secara adil dan merata. Hidup ayah selama ini hanya untuk mengabdikan
diri untuk kepadamu semua wahai anak-anakku, Harta yang ada sekarang ini
cukup menghidupi kalian”. Anak-anaknya merasa gembira, dalam hati
masing-masing, terbayang ayahnya akan membagi harta warisan. Sesaat
kemudian sang ayah melanjutkan pesannya “ Anak-anakku yang tercinta.
Hidup ini adalah perjuangan, suka dan cita harus dilalui. Apakah kalian
menyayangi ayahmu ?” Serentak anak-anaknya menjawab “ Kami semua sangat
mencintai dan menyayangi ayah dan apa yang dipesankan ayah, maka kami siap menerima apapun keputusan dari ayah”.
Anak-anaknya
semakin merapat dan masing-masing membayangkan pembagian warisan. “
Terima kasih anak-anakku, ternyata kalian semua anak yang baik” Sang
ayah sangat bahagia mendengar pernyataan anak-anaknya. Tetapi sebagian
anak anaknya merasa gelisah mengapa sang ayah belum juga membagi cepat harta yang ada. “ Harta itu hanya titipan Tuhan untuk kehidupan dunia sedangkan budi
baik adalah titipan sepanjang hidup di dunia yang bermuara di akhirat”.
Anak-anaknya semakin gelisah menunggu pembagian warisan. Kemudian sang
ayah dengan suara mulai terputus-putus melanjutkan “ Demi
kebahagiaan dan kebersamaan kalian maka harta yang ada sekarang ini,
ayah wakafkan kepada fakir miskin dan satu-satunya harta paling berharga
yang dapat ayah wariskan kepada kalian adalah sebuah S…A…P…U…L…I…D…I “.
Sang ayahpun pun menghembuskan nafas terakhir.
Kisah
di atas menunjukkan, bahwa apabila ayahnya mewariskan harta seperti
tanah dan sejenisnya maka akan menjadi sumber perpecahan bagi
anak-anaknya kelak. Dan warisan Sapulidi menunjukkan, bahwa sang ayah
mengharapkan anak-anaknya tetap bersatu setelah meninggal. Warisan
Sapulidi yang memiliki nilai tersirat ternyata mampu menyatukan anak-anaknya.
Konsep Sapulidi bagi bangsa Bugis dianalogikan sebagai :
1. Siattinglima
(Saling berpegangan tangan) yakni untuk menangkat dan memikul beban
yang berat dapat menjadi ringan apabila dilakukan secara bersama-sama;
2. Sitonraola
(Sependapat dan berjalan searah) yakni : untuk memutuskan sebuah
masalah akan lebih baik bila disepakati secara bersama-sama;
3. Sipakainge
(Saling mengingatkan) yakni : Tidak ada manusia yang tak luput dari
kesalahan dan kekhilapan maka sebaiknya saling menasihati;
4. Siparappe
(Saling membantu) yakni : Dalam kehidupan ini tak ada mahluk yang dapat
hidup sendiri-sendiri tanpa bantuan mahluk lain, maka manusia sebagai
mahluk sosial maka sebaiknya saling terhubung dan saling membantu satu
sama lain.
5. Tessipano
(Tidak saling menjatuhkan) yakni diantara sesama manusia tak ada yang
saling menjatuhkan maka sebaiknya saling menghargai;
6. Tessibelleang
(Tidak saling menghianati) yakni apabila sudah disepakati dan telah
diputuskan bersama-sama maka sebaiknya dipatuhi putusan itu
Konsep tersebut di atas menurunkan TEORI SAPULIDI ? (red) dianalogikan sebagai analis SWOT yang diaplikasikan menjadi system Manajemen Partisipatif. Di kalangan bangsa Bugis Teori Sapulidi telah menjadi “Petuah atau Pesan”
tak ternilai bagi generasinya hingga sekarang ini dan bahkan
dimasa-masa akan datang. Oleh karena itu salah satu ciri khas Bangsa
Bugis adalah kemampuannya menjaga harkat dan martabat
leluhurnya dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dimanapun
mereka berada serta tetap menjalin kesatuan antar sesama.(Teluk Bone)