KONSEP MATTULU TELLUE
I. PENDAHULUAN
Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki ciri khas yang menjadi jati diri mereka. Dalam mempertahankan jati dirinya tersebut, mereka senantiasa berupaya mencari cara sedemikian rupa demi
untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau sukunya. Mereka berusaha
menciptakan suatu tatanan prinsip yang dapat dijadikan sebagai
pegangan dalam segala tindakan baik bersifat pribadi maupun
kelompoknya. Dengan tujuan, agar apa yang diharapkan dalam tindakannya
dapat mendapatkan hasil yang diharapkan dan mendapat apresiasi baik
dalam kelompok sukunya sendiri maupun di luar kelompok suku bangsanya.
Mereka meyakini, bahwa dengan memiliki prinsip sebgai pegangan maka segala yang kita
lakukan tidak akan kesasar dan mengambang, disamping prinsip itulah
yang jadikan sebagai alat motivasi dalam melakoni hidup disegala bidang
Demikian
pula bangsa Bugis sejak dahulu kala setiap suku telah memiliki
prinsip-prinsip hidup yang dijadikan sebagai perisai dalam menjaga
keberlangsungan norma-norma adab yang dimilikinya. Perisai yang dimaksud
adalah prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai Motto dalam melindungi
norma-norma adat-istiadatnya sebagai pegangan hidup dalam menjalankan segala aktivitasnya baik secara internal maupun eksternal.
Pada masa pemerintahan Latenritata alias Arung Palakka. Dalam lontara disebutkan: “Riwettu Puatta Petta Malampe-E Gemme’na Paoppang Palengengngi Tanah Bone, Padatosaha Keteng Tepu Seppuloi Lima ompo’na”
Artinya: Sewaktu raja Bone Petta Malampe-E Gemme’na berkuasa, maka Bone pada waktu itu seumpama bulan, cerah bagaikan bulan purnama yang terbit sempurna kelima belas”.
Artinya: Sewaktu raja Bone Petta Malampe-E Gemme’na berkuasa, maka Bone pada waktu itu seumpama bulan, cerah bagaikan bulan purnama yang terbit sempurna kelima belas”.
Lalu masihkah hari ini, para genarasi (ana' rimunrie) menampakkan taring kebesaran itu? Adakah
kegairahan untuk belajar pada masa silam ? Bukankah potret sejarah
masa depan adalah bertaut dengan rangkaian sejarah masa lalu dan apa
yang kita gurat pada jejak masa kekinian?
Berbicara
tentang Bugis juga selalu identik dengan Bone. Peradaban Bugis pada
masa silam adalah peradaban besar dan gemilang yang memiliki daya tarik
tersendiri bahkan seorang penulis asal Prancis: Christian Pelras rela
menghabiskan 2/3 umurnya hanya untuk meneliti kebudayaan Bugis dan
mengasilkan buku 'The Bugis', yang diperoleh dari hasil penelitian dan
penelusuran dokumen yang berlangsung selama 40 tahun (1950–1990).
Penerbit Ininnawa kemudian diterjemahkan menjadi 'Manusia Bugis'. Memang
fenomenal, seorang manusia Prancis, rela terjun selama puluhan tahun
hanya untuk meneliti kebudayaan orang lain. Sesuatu yang jarang dijumpai
di Indonesia, lebih-lebih di kalangan peneliti lokal sendiri.
Dari
asumsi tersebut, terselip harapan untuk kembali melestarikan spirit
kebugisan kita. Karena di sana ada kearifan hidup,ada spirit keberanian
dan ketangguhan melawan hidup. Nenek moyang di masa lalu telah
menawarkan spirit ketangguhan dan keberanian hidup. Mengajarkan kearifan
dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup. Bukankah kearifan itu masih tersisa dalam jejak yang ditinggalnya dalam sastra Pappaseng ?
Secara umum tercatat dalam sastra besar dunia, Sure’ Selleang I La Galigo.
Nah, masih adakah jiwa dan semangat ke To-Bone-an hari ini, ketika generasi kekinian tak lagi mengenal spirit kearifan hidup leluhur yang tercatat dalam sastra Pappaseng? Masih adakah Bugis Bone hari ini ketika generasi muda mulai tak fasih lagi bertutur bahasa Bugis dalam kesehariannya? Tidakkah hari ini generasi mulai malu menggunakan bahasanya sendiri karena merasa tidak sesuai dengan trend? Benarkah generasi sekarang ini … Aduh, penulis tak mampu lagi menulisnya di sini melihat fenomena yang ada.
Nah, masih adakah jiwa dan semangat ke To-Bone-an hari ini, ketika generasi kekinian tak lagi mengenal spirit kearifan hidup leluhur yang tercatat dalam sastra Pappaseng? Masih adakah Bugis Bone hari ini ketika generasi muda mulai tak fasih lagi bertutur bahasa Bugis dalam kesehariannya? Tidakkah hari ini generasi mulai malu menggunakan bahasanya sendiri karena merasa tidak sesuai dengan trend? Benarkah generasi sekarang ini … Aduh, penulis tak mampu lagi menulisnya di sini melihat fenomena yang ada.
Coba bayangkan, Christian Pelras saja yang bukan orang Bugis tapi mampu bertutur bahasa
Bugis dengan fasih pada waktu memberikan ceramah umum tentang Manusia
Bugis (26/09/2006). Mungkian suatu saat ketika para generasi ingin
belajar bertutur Bugis dan belajar tentang Bugis kita harus belajar di
negeri Eropa sana ?. He….he….. Ironis sekali. Bugis mungkin suatu hari
nanti hanyalah sebuah predikat yang malas kita sandang. Bukankah
generasi kini lebih tahu tentang Putri Diana, lebih menguasai riwayat
hidup Ronaldo dibandingkan riwayat Arung Palakka, Kajao Lalliddong atau legenda Sawerigading? Arus modernisasi dan neo-liberalisme begitu kuat mencengkram generasi Bugis masa sekarang ini.
Ketika
melihat fenomena budaya yang berkembang di masyarakat Bone khususnya
dikalangan generasi muda. Ada beberapa pertanyaan sederhana yang
sebenarnya mengandung makna keprihatinan atas fenomena tersebut. Berapa
banyak anak muda Bone yang bisa bercerita lengkap tentang sejarah Bone?
Sejauh mana anak muda Bone tahu tentang tokoh-tokoh di balik kebesaran
kerajaan Bone? Berapa banyak anak muda Bone yang bisa menulis dan
membaca aksara lontara dengan baik? Berapa banyak anak muda Bone yang
bisa berbahasa Bugis dengan bahasa yang halus? Berapa banyak anak muda
yang hafal dan mengamalkan pesan-pesan leluhur (Pappaseng To Riolo)?
Apakah perilaku generasi Bone saat ini telah mencerminkan sikap-sikap
(Mappakkeade’) seperti yang dulu dimiliki para pendahulunya? Dan
masihkan ikatan emosional (Riassibonei) terjalin dengan harmonis antara
sesama warga Bone di dalam dan luar daerah?
Kami
tidak ingin memberikan jawaban dan penilaian dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Yang jelas dengan
menumbuhkembangkankan jiwa dan semangat ke To Bone-an, sangatlah urgen
dan strategis untuk dilakukan. Karena diakui atau tidak, saat ini
masyarakat dunia (termasuk masyarakat Bone) hidup dalam kecenderungan
yang bersifat global. Pergeseran budaya yang semakin tajam, kecilnya
dunia berkat sistem komunikasi dan transformasi yang semakin canggih telah memberikan makna kehidupan manusia ke arah yang lebih maju dan modern.
Dalam
situasi dan kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil semangat dan
budaya kedaerahan (ke-to Bone-an) akan semakin terkikis atau mungkin
hilang dari sanubari masyarakat Bone, terkhusus di kalangan generasi
muda (ana ri munri) yang memang jarang tersentuh dengan gagasan–gagasan ,
kegiatan-kegiatan (aktivitas) dan peninggalan sejarah (artefak yang
dimiliki kabupaten Bone dari lingkungannya (Keluarga, Sekolah, dan
Masyarakat).
Seyogianya,
Bugis Bone (Wija To Bone) tidak hanya sekadar mengaku dan diakui
sebagai orang Bone lantaran lahir di Tana Bone. Akan tetapi, lebih jauh
mereka seharusnya memahami sejarah lelulur, memahami kebudayaan Bone
dan mengimplementasikannya nilai-nilai spirit kearifan hidup, spirit keberanian, dan ketangguhan menjalani hidup. Berpegang pada Pesan Leluhur, yakni : Makkateni ri limae akkatenningeng, iyanaritu :
1. Mammulanna Riada TongengngE;
2. Maduanna RilempuE;
3. Matellunna Rigettengng-E.
4. Maepana SipakatauE,
5. Malimanna mappesonaE ri Dewata SewwaE. (Mattulada: 1995 atau lihat Anwar Ibrahim 2000)
II. Masa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584)
Mattulu Tellue berasal dari kata “Situlu Tellu” dalam bahasa Bugis berarti saling bertaut tiga yang disimbolkan sebagai tali. Kemudian melahirkan Mattulu Tellue yang artinya sesuatu atau tali yang
bertaut tiga yang dijadikan sebagai simbol keutuhan dan kekuatan.
Dalam bahasa Makassar disebut Mabbulo Sipeppa atau Mabbulo Sibatang,
yakni tiga batang dijadikan menjadi satu. Dengan menggabungkan tiga
buah batang menjadi satu kesatuan dapat membentuk sebuah kekuatan.
Baik
Mattulu Tellue ataupun Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang merupakan
sesuatu yang abstrak namun di dalamnya sarat dengan makna simbolis yang
dijadikan sebagai motivasi dalam semangat hidup.
Dikalangan
Bugis Bone, Konsep Mattulu Tellue telah digunakan dimasa pemerintahan
raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584) . Konsep ini
dipopulerkan oleh sang diplomat ulung dari Tanah Bone yang di kenal
dengan gelar Kajao Lalliddong. Lamellong yang bergelar
Kajao lalliddong tersebut banyak menciptakan dan melahirkan
konsep-konsep kepemimpinan sebagai norma-norma adab yang dijadikan
sebagai anutan oleh raja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti
berikut ini ;
1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Dalam
menjaga eksistensi norma-norma adab di atas mereka membangun sebuah
prinsip yang dijadikan sebagai perisai yakni Mattulu Tellue antara lain :
1. Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2. Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3. Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.
Pada hakikatnya jauh sebelum Pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge nilai-nilai semangat Mattulu Tellue
telah ada pada masa pemerintahan Raja Bone ke-1 La Ubbi yang digelar
Manurungnge Ri Matajang dalam menyatukan rakyat Bone pada masa itu namun
kata Siattinglima, Sitonraola, Tessibelleang dipopulerkan oleh lamellong Kajao Lalliddong
III. Masa pemerintahan Raja Bone Ke-15 Arung Palakka (1667–1696)
Pada masa ini beliau menumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an.yakni :
1. Malilu Sipakainge
2. Mali Siparappe,
3. Rebba Sipatokkong”
(artinya
: "Hanyut saling berdampar, Rubuh saling tegakkan, Terlupa saling
ingatkan, sehidup saling menghargai) - sebuah pepatah Bugis yang
mengandung makna yang sangat dalam tentang arti persaudaraan akan selalu
hidup dalam jiwa masyarakat.
Selanjutnya, dengan dasar norma adab di atas, dalam mempertahankan eksistensi semangat Konsep Mattulu Tellue
secara berkesinambungan di Tana Bone, maka pada masa pemerintahan Raja
Bone ke-15 Arung Palakka membangun sebuah motto yang dikenal dengan
sebutan “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae” yang artinya “Takkan Tenggelam Matahari Di Tengah Langit” Maksudnya : Sesuatu pekerjaan harus berakhir dengan keberhasilan. Dalam bahasa Bugis “Amporo atau Makkamporo” atau “Aja’ Muakkamporo”
yaitu telur yang gagal menetas. Maksudnya apabila kita menghadapi atau
melakukan suatu pekerjaan janganlah berhenti di tengah jalan. Hal ini
setara dengan “ Kambacu” Aja’ Muakkambacu” Dalam bahasa Bugis Kambacu
adalah biji jagung yang digoreng namun gagal menjadi berti atau mekar.
Konsep inilah juga yang dijadikan Arung Palakka sebagai penyemangat
dalam membebaskan rakyat Bone yang dijadikan sebagai pekerja paksa oleh Gowa pada masa itu.
Kebesaran
Bone di masa lalu adalah spirit kehidupan, gerak kualitas peradaban.
Namun ia baru berarti ketika filosofi agungnya sebagai pondasi dasar dan
tetap utuh dianut serta dipegang teguh oleh masyarakatnya. Lalu,
sejauhmanakah semangat ke To-Bone-an hari ini dan masih adakah manusia
Bugis Bone yang sesungguhnya? Tatkala secara substansial nilai dasar
sebagai filosof dan spirit hidup Bugis telah mengalami degradasi dan
dehidrasi besar-besaran?
Di
zaman ini, ketika kita kembali meneropong masa Ialu, menguak tabir
jejak-jejak sejarah gemilang moyang kita pada masa silam. Seyogianya
kita jadikan sebagai bahan renungan kita semua. Hal ini bukan berarti
untuk mengevaluasi apa lagi untuk memberikan penilaian, akan tetapi
semata-mata berniat sebagai “gelitik luhur ” dan bahan renungan bagi
kita semua terutama bagi penulis sendiri, akan pentingnya munumbuhkan
kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an, yaitu :
”Mattulu Tellue/Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang, yakni : Malilu Sipakainge, Mali Siparappe,Rebba,Sipatokkong”
Sebagaimana Petuah Leluhur :
“Seratu’ Ada’ seddi Gau’, Gau’E mappattentu.,Sadda mappabati Ada’., Ada’ mappabati Gau.,Gau mappabati Tau., Tau Sipakatau Sipakalebbi. Mappau Ada Mappaddupa Gau, Sitonrai Lilae na BatelaE, Nasaba Engka Siri’ta Nennia Pesseta “siri’mi rionroang ri lino naiyya Sire’E Nyawa nakira-kira nenniya Sunge’ Naranreng”, Nassibawai Wawang ati macinnong, lempu,
getteng, ada tongeng, temmapasilaengeng, warani, amaccangeng, reso,
tenricau tenribali, maradeka nennia assimellereng.,Makkatenni Masse ri
Panngaderengnge na Mappesona ri Dewata SewwaE “Mette’ Tenribali,
Massa’da Tenri Sumpala”
IV. SIMPULAN
Dengan
demikian dapat disimpulkan, bahwa Konsep Mattulu Tellue dimasa
Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2. Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3. Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.
Selanjutnya, Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-15 Latenri Tata Arung Palakka dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Malilu Sipakainge,
2. Mali Siparappe,
3. Rebba,Sipatokkong”
(artinya : " Terlupa Saling Mengingatkan, Hanyut Saling Berdampar, Rubuh Saling Menegakkan)
Kata kunci konsep di atas adalah “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae”
Dengan demikian, semua tatanan adab di atas berfungsi perisai dalam
1. Menjaga dan mempertahankan eksistensinya baik personal maupun kelompok;
2. Bahasa simbol / Motto yang berfungsi penyemangat dalam menjalankan segala bentuk aktivitas baik internal maupun eksternal dalam kelompok.