Istilah good governance tak bisa
dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma
pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti,
penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good
governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah
resolusi The Council of the European Community yang membahas Hak Asasi
Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan,
diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang
berkelanjutan,yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia,
mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang
berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu, good
governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi
dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam
perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan
Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral.
Istilah
good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan
pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan
yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan
bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit
sebagai pemerintahan yang bersih (Effendi, 2005).
Dalam
kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang
pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu
dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis:
Maccai na Malempu;
Waraniwi na Magetteng
(Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.)
Bila
ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin
yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur,
berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa
kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan
kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya
membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disetrtai dengan
kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian
haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani
tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam
kenekadan.
Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah:
1. Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia.
2. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.
3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat.
4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).
6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.
7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.
8. Jujur dalam segala keputusannya.
Kemudian,
I Mangada'cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang membuat pesan yang
isinya bahwa ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu:
1. Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.
2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.
3. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.
4. Kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara.
5. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya.