Foto di atas adalah Pintu gerbang Ketua DPRD II Bone |
Istilah Wala Suji
tidak asing lagi bagi Bangsa Bugis. Jika Anda pernah mengunjungi acara
adat atau perkawinan Kerabat Bangsa Bugis, tentu Anda akan melihat
suatu Baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan
pintu rumah mempelai atau yang melaksanakan hajatan. Wala Suji ini
terbuat dari anyaman bambu. Mengapa Wala Suji harus menggunakan pohon
bambu, karena pohon bambu dipercaya memiliki makna filosofi .
Pohon
bambu adalah sejenis tumbuhan yang sangat berguna bagi kehidupan
manusia. Ada satu sisi dari pohon bambu dapat dijadikan bahan
pembelajaran bermakna, yakni pada saat proses pertumbuhannya. Pohon
bambu ketika awal pertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunas dan
daunnya terlebih dahulu menyempurnakan struktur akarnya. Akar yang
menunjang ke dasar bumi membuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat
kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup angin kencang.
Metafora
tersebut mengajarkan kepada manusia agar tumbuh, berkembang dan
mencapai kesempurnaan bergerak dari dalam ke luar, bukan sebaliknya.
Lebih jauh memahami filosofi pohon bambu tersebut, bahwa menjadi apa
sesungguhnya kita ini sangat tergantung pada pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan kita tentang “Keimanan kepada Allah SWT” yang terdapat
dalam hati (qalbu) kita masing-masing.
Wala
Suji ini merupakan cikal bakal tulisan lontara. Karena pada masa-masa
itu belum ada yang namanya pulpen, pensil dan sejenis alat tulis
lainnya. Huruf lontara ini pada awalnya dipakai untuk menulis tata
aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar
menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar.
Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga
dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam
acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi)
adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan
susunan semesta, api-air-angin-tanah.
Sebenarnya
konsep segi empat pada Wala Suji ini, berpangkal pada kebudayaan orang
Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapa' eppa wala
suji (segi empat belah ketupat). Menurut almarhum Prof DR Mattulada,
budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin,
Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia
tengah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia
sebagai sebuah kesempurnaan.
Kesempurnaan
yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur,
barat, utara, dan selatan. Secara makro, alam semesta adalah satu
kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu
‘sa’ yang berarti seuwwa, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara
mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapaq
eppaq. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke
kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia.
Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk
mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan
yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng
(kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng
(ketampanan/kecantikan).