Rupiah Perlu Operasi Plastik -->
Cari Berita

Rupiah Perlu Operasi Plastik

Foto Harry_Adin/Instagram

Penulis Harryadin Mahardika 

Bugiswarta.com, Opini -- Bermain drama kini tidak melulu dimonopoli oleh para penggiat teater. Beberapa minggu ini contohnya, kita disuguhi aksi drama oleh para pengambil kebijakan yang mementaskan lakon “Rupiah Baik-Baik Saja”. Alur cerita utamanya berkisah tentang pelemahan Rupiah yang hanya bersifat sesaat, sehingga tidak perlu dikhawatirkan dampaknya terhadap perekonomian. 

Drama ini tentu bisa menghibur penonton pada umumnya, yaitu masyarakat kebanyakan yang memang sedang haus hiburan karena hidup makin sulit. Tapi bagi para penonton yang kritis, yaitu pelaku pasar dan pengamat kebijakan, lakon ini sama sekali tidak menghibur karena akhir ceritanya bisa membahayakan tidak hanya bagi penulis skenario dan pemain dramanya, tapi juga bagi para penonton.

Betapa tidak? Pelemahan Rupiah yang terjadi selama lima tahun terakhir sebenarnya membuat kesejahteraan rakyat kita stagnan. Mau bukti? Jika dihitung dengan memasukkan variabel pelemahan Rupiah terhadap Dollar, maka posisi PDB per-kapita kita selama lima tahun tidak berubah banyak, 3.672 Dollar tahun 2013 dan cuma naik 3.876 Dollar di tahun 2017. Dan nilai itupun akan turun 11 persen tahun ini dengan posisi Rupiah yang melemah menjadi 15.100 Rupiah/Dollar hari ini.

Kegentingan inilah yang membuat pelemahan Rupiah tidak lagi boleh dianggap enteng. Setidaknya ada tiga hal yang membuat lakon drama Rupiah ini bisa membahayakan.

Pertama, para pelakon drama terus menutupi keengganan pemerintah memperbaiki keseimbangan eksternal Indonesia. Hal ini salah satunya tercermin dari langkah pemerintah yang melanjutkan ekspansi fiskal demi memberikan panggung bagi drama lain yang lebih besar, Pilpres 2019. 

Kedua, ada upaya meyakinkan penonton bahwa tindakan dan keputusan yang diambil para aktor diatas panggung adalah benar-benar independen dari intervensi sang penulis skenario. Padahal penonton yang jeli saat ini dapat melihat bahwa para aktor tersebut tidak diberi kesempatan memainkan peran terbaiknya dengan lepas. Ini tercermin dari respon kebijakan pelemahan Rupiah yang diambil para aktor tersebut masih sekedar kosmetik belaka, seperti pembatasan impor 900 jenis barang. Mereka tidak berani mengambil kebijakan yang drastis dan tidak populis, meski kebijakan seperti itu tentunya lebih strategis dalam memperbaiki fundamental Rupiah.

Ketiga, penulis skenario drama ini berusaha mengulur-ngulur klimaks dari cerita ini. Demi hal itu, plot dan tokoh baru dimasukkan ke dalam cerita sehingga drama ini makin berputar-putar tidak menentu. Misalnya, BI terus-menerus diminta melakukan intervensi menjaga nilai Rupiah meski dengan risiko menguras cadangan devisa. Untuk itu, BI harus ‘membakar’ Rp1,2 Triliun uang rakyat setiap harinya. Sementara disaat yang sama pemerintah terus mencetak utang baru dalam denominasi dollar. Jika terus begini, penonton yang jeli tentu khawatir bahwa klimaks cerita yang diulur-ulur ini bisa berubah menjadi antiklimaks.

Dalam menyikapi dinamika kebijakan ekonomi negara yang penuh drama seperti ini, masyarakat sebagai penonton wajib menyuarakan sikapnya dengan tepat. Tepuk tangan perlu diberikan ketika aksi yang diberikan menawan, tapi jangan lupa juga untuk protes dengan meneriakkan ‘huuuuu’ ketika penulis skenario dan aktor yang ada dipanggung menampilkan plot cerita yang konyol dan tidak masuk akal. 

Meski demikian, saya berpendapat lakon ‘Rupiah Baik-Baik Saja’ ini masih bisa diselamatkan menjadi kisah yang happy ending. Syaratnya satu, Rupiah harus operasi plastik! Jangan lagi hanya memakai kosmetik.

Artinya, fundamental Rupiah harus diubah secara total melalui kebijakan yang drastis dan efektif. Caranya bagaimana?

Prioritas nomor satu adalah melakukan kontraksi fiskal secara berani. Salah satunya dengan mengurangi ambisi pertumbuhan agar defisit segera turun drastis. Ini bisa diwujudkan dengan menunda proyek-proyek infrastruktur non-prioritas yang didanai utang dalam denominasi dollar. Jika konsisten, cara ini akan membantu menenangkan gejolak Rupiah dengan tidak mengulangi situasi tahun 2017 dimana neraca berjalan kita minus 17 miliar Dollar (255 triliun Rupiah) atau setara 2,5 persen dari PDB. Ibu Sri Mulyani sendiri mengatakan bahwa anggaran terbaik Indonesia pernah dicapai pada tahun 2008, dimana saat itu defisit anggaran hanya mencapai 0,08 persen dari PDB. 

Prioritas berikutnya adalah secara serius mengurangi defisit perdagangan migas yang selama ini terus-menerus memberikan tekanan berat pada Rupiah. Defisit perdagangan migas kita tahun 2017 sudah minus 12 miliar Dollar (180 triliun Rupiah) dan terus merangkak naik. Bahkan 70 persen defisit neraca berjalan kita berasal dari defisit migas ini. Kita perlu bergerak cepat untuk menerapkan kebijakan konversi energi kendaraan bermotor (migrasi BBM ke BBG, biofuel dan listrik) serta insentif dan percepatan bagi pemain energi baru dan terbarukan. Kebijakan ini sangat mungkin dijalankan dalam jangka pendek, tinggal diperlukan political will yang kuat.

Prioritas terakhir adalah membiarkan mekanisme pasar untuk menentukan nilai Rupiah yang sebenarnya. Biarlah pasar yang akan melakukan penyesuaian secara organik dan cepat. BI sebaiknya hanya melakukan intervensi minimum, karena apa yang dilakukan BI sekarang ini malah menunda proses penyesuaian oleh pasar terhadap nilai Rupiah yang sebenarnya. Bayangkan BI harus membakar cadangan devisa sebanyak 12,3 miliar Dollar (184,5 triliun Rupiah) sejak awal tahun 2018 untuk menjaga nilai Rupiah.

Inilah tiga langkah prioritas untuk mengoperasi plastik Rupiah kita. Namanya juga operasi, tentu saja akan sedikit menyiksa di awal-awal. Namun percayalah, setelah mengalami recovery, wajah Rupiah akan lebih kinclong dan menarik hati. Penonton senang, Negara menang.