Mengawal RUU Pemilu, Ini Pernyataan Sikap Komite Pemantau Legislatif Sinjai -->
Cari Berita

Mengawal RUU Pemilu, Ini Pernyataan Sikap Komite Pemantau Legislatif Sinjai

Rudi Hasbullah (Koordinator Komite Pemantau Legislatif Sinjai)  

BUGISWARTA.com, Sinjai -- Dengan memperhatikan perkembangan pembahasan RUU Pemilu sampai saat ini dan untuk memastikan terbentuknya kerangka hukum pemilu yang menjamin kompetisi pemilu jujur, adil, dan demokratis. Olehnya itu Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sinjai, menyatakan penolakannya dengan menegaskan beberapa poin, diantaranya :

1) Penambahan Jumlah Kursi DPR RI.Pansus RUU Pemilu dan Kemendagri sudah menyepakati penambahan kursi DPR dari 560 menjadi 575. Total penambahan 15 kursi. Penambahan ini tidak akan mengatasi ketidakadilan distribusi kursi DPR ke provinsi sebab dilakukan tanpa prinsip dan parameter yang jelas dan akuntabel mengenai bagaimana kursi akan dialokasikan ke provinsi.

Menurut penelitian KOPEL Sinjai.  Penambahan kursi ini akan menambah beban keuangan negara sebesar Rp.59 milyar per-tahun. Rinciannya terdiri dari gaji, tunjangan, kendaraan dinas, staf ahli, dana reses, dan rumah aspirasi. Poin ini penting untuk segera ditolak presiden, karena sangat tidak produktif jika dibandingkan uang Rp.56 milyar itu digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang masih belum merata. Penambahan itu juga semakin menjauhkan konsep bikameral yang setara dan juga melemahkan sistem presidensial karena Presiden mudah di-impeach.

2) Pembiayaan Pelatihan Saksi Oleh Negara
Kami menilai, usulan agar pelatihan saksi dibiayai oleh negara dan dilaksanakan oleh KPU atau Bawaslu adalah tidak sesuai dengan desain dan tugas lembaga penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu adalah penyelenggara pemilu, yang bertugas melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, dengan mengedepankan sikap nonpartisan, netral, dan imparsial. Sedangkan pelatihan saksi partai politik atau saksi peserta pemilu adalah tugas sebagai peserta pemilu yang harus dilandasi semangat ideologis untuk mengawal suaranya sebagai kontestan pemilu. Oleh sebab itu, materi yang diusulkan oleh sebagai fraksi partai politik di Pansus RUU Pemilu, dan juga disetujui oleh Menteri Dalam Negeri telah mencampuradukkan posisi dan peran penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu. Selain itu, pendanaan tersebut memberikan tanggungjawab lebih kepada Presiden sebagai pengusul APBN, jika beban anggaran terlalu besar maka Presiden dianggap tidak mampu memanajemeni keuangan negara.

3) Sistem Pemilu Tertutup Maupun Terbuka Terbatas
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas pada praktiknya adalah sistem pemilu tertutup. Sistem ini menegasikan hak pemilih untuk memilih calon yang dikehendakinya dan merupakan langkah mundur atas perjuangan reformasi yang menghendaki akuntabilitas antara calon yang dipilih dengan pemilih/konstituen yang diwakilinya. Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas akan sulit dipahami pemilih dan hanya kamuflase untuk membohongi pemilih. Sistem ini juga memperlihatkan dominasi partai dibandingkan rakyat pemilih yang ujungnya akan menjauhkan anggota legislatif terpilih dengan konstituennya.

4) Sistem Pencalonan DPD yang Bertentangan dengan Konstitusi
Pansus RUU Pemilu dan Kemendagri mengusulkan pencalonan DPD diubah. Bakal calon anggota DPD tidak lagi mengumpulkan dukungan KTP sebagai syarat pencalonan, tapi diseleksi oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh Gubernur, kemudian dilaksanakan uji kelayakan dan kepatutan oleh DPRD Provinsi. Pilihan ini jelas melemahkan DPD, dan tidak sesuai dengan asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia jujur, dan adil sebagaimana ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945. Selain itu, UUD 1945 juga menjamin bahwa pemilu untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pola seleksi yang diajukan Pansus RUU Pemilu dan Pemerintah jelas telah mendistorsi keberadaan KPU sebagai penyelenggara pemilu sebagaimana dijamin Konstitusi.

5) Menaikan Ambang Batas Perwakilan (Parliamentary Threshold)
Ambang batas perwakilan dalam perjalanan pemilu Indonesia terbukti tidak berkorelasi langsung dengan penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen. Sebaliknya, ambang batas perwakilan akan membawa konsekwensi langsung pada terbuangnya suara sah yang sudah diberikan oleh pemilih di TPS (wasted votes). Oleh karena itu untuk menghargai setiap suara pemilih yang sudah diberikan dalam pemilu, kami menolak dinaikannya ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold.

6) Diberlakukannya Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold)
Sebagian partai politik yang masih menginginkan ambang batas pencalonan presiden tidak relevan lagi dengan pelaksanaan pemilu serentak. Karena, tidak ada lagi angka ambang batas suara yang bisa dijadikan pedoman untuk ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, karena pemilunya serentak. Jika dipaksakan, ketentuan ini akan memberikan ketidakadilan kepada seluruh partai politik peserta pemilu.
Pilihan ini bertentangan dengan konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, termasuk mengikat pembuat undang-undang.

Oleh karena itu, Kami merekomendasikan kepada Pansus RUU Pemilu dan Pemerintah hal-hal sebagai berikut:

1) Pembentuk Undang-Undang segera mengesahkan RUU Pemilu, dengan memperhatikan waktu, ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, putusan Mahkamah Konstitusi, evaluasi dan penguatan dari pemilu sebelumnya, serta konsekuensi logis dari tata kelola pemilu yang harus disesuaikan dengan pelaksanaan pemilu serentak.

2) Memilih opsi besaran daerah pemilihan (district magnitude) 3-8 kursi guna memperkuat hubungan antara konstituen dan para wakilnya, serta untuk menciptakan mekanisme akuntabilitas yang lebih baik.

3) Menerapkan metode konversi suara Sainte Lague murni guna memastikan dan mengedepankan proporsionalitas dalam penentuan perolehan kursi partai-partai politik peserta pemilu.

4) Presiden seyogyanya segera memerintahkan Kemendagri, Kemenkumham, dan Kemenkeu sebagai kuasa presiden dalam pembahasan RUU Pemilu untuk:

a. Menolak usulan penambahan kursi DPR, dan mendorong agar dilakukan realokasi dan penataan ulang kursi DPR RI sebagai political representation sesuai prinsip keadilan dan proporsionalitas berdasarkan asas One Person One Vote One Value;

b. Menolak pembiayaan pelatihan saksi peserta pemilu atau saksi partai oleh negara, karena telah mendistorsi pembagian peran aktor pemilu antara peserta dan penyelenggara, dan yang pasti telah membuat boros keuangan negara;

c. Tidak mengusulkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden di dalam RUU Pemilu karena tidak sesuai dengan konsep pemilu serentak, dan potensial bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945;

d. Tidak mengusulkan sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka terbatas, karena akan membuat bingung pemilih dan penyelenggara pemilu, membuat nilai suara pemilih menjadi tidak setara, dan merupakan langkah mundur dalam demokrasi.

Pernyataan tersebut diutarakan Rudi Hasbullah (Koordinator KOPEL Sinjai)  pada awak media. Minggu, 11 Juni 2017.

BURHAN/MULIANA AMRI