Minimnya Gerakan Perempuan -->
Cari Berita

Minimnya Gerakan Perempuan

Ismi, Aktivis PMB Sinjai
BUGISWARTA.com, Sinjai -- Selain sebagai agen perubahan sekaligus pengontrol kehidupan sosial. Berdiskusi, berdebat dan berdemonstrasi bagi mahasiswa sudah bukan lagi hal baru. Bertukar pikiran serta beradu gagasan adalah rutinitas yang tak pernah alpa bila kita berbicara tentang mahasiswa. Tetapi tidak banyak yang menyinggung gerakan perempuan.

Sebagai seorang mahasiswa pemula, tentunya dari berbagai isu dan pendapat yang terdengar telah menjadi tanda tanya besar di benak saya. Selain penasaran saya juga sangat tertarik dengan perjuangan, pergerakan serta berbagai kegiatan akademis lainnya terkhusus pada kaum perempuan.

Berbicara tentang perempuan, khususnya di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan tentunya masih sangat seksi untuk diperbincangkan. Apalagi dalam hal perjuangan, pergerakan dan terlebih pada responsif gender.

Di sini saya ingin mengulas pentingnya perjuangan perempuan dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi maupun dalam ranah hukum.

Dalam belenggu feodal saat ini, perempuan masih selalu menjadi sebuah perbandingan dengan kaum laki-laki. Dianggap remeh, lemah dan tak berdaya tanpa bantuan laki-laki adalah caplokan masyarakat umum pada perempuan saat ini.

Perempuan hanya dianggap sebagai sebuah perhiasan rumah yang hanya bisa memasak, mencuci, menyapu dan rutunitas domestik lainnya. Ruang geraknya dibatasi, pendapatnya kadang diabaikan apalagi mengabil keputusan. Dianggap tidak tegas dan lain sebagainya apalagi menyelesaikan masalah, semuanya didominasi oleh kaum laki-laki.

Padahal tidak bisa dipungkiri, sejarah peradaban dimulai dari Adam dan Hawa. Bukan hanya Adam seorang diri, artinya laki-laki dan perempuan itu memiliki peran yang sama pentingnya.

Sejenak kita menengok sejarah perjuangan perempuan sebagaimana diketahui bersama gerakan perempuan dimulai dari perjuangan buruh di New York. Awal abad ke-20. Para buruh perempuan memprotes mengenai upah minim yang diterimanya dan dari situlah awal mula perjuangan perempuan muncul dipermukaan.

Di Indonesia sendiri organisasi perempuan yang pertama kali muncul adalah Poetri Mahardika yang didirikan pada tahun 1912. Menghimpun para tokoh-tokoh perempuan yang kritis dan intelektual serta berani tampil memperjuangkan haknya.

Kontribusi perjuangan perempuan seperti R.A Kartini, Marsinah dan lainnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan perempuan di ranah publik. Perjuangan mereka menempuh emansipasi dengan berbagai intervensi serta kekangan orde baru senantiasa dilalui, meskipun banyak diantaranya yang harus kehilangan nyawa. Itulah membuat kaum perempuan sedikit bisa bernafas lega sampai saat ini.

Meskipun saat ini sudah ada peluang untuk berekspresi secara demokratis bila dibandingkan dengan masa orde baru, namun masih banyak perempuan yang mengalami penindasan, ketidakadilan dan dianggap nomor dua.

Kalau melihat kejanggalan yang terjadi pada perempuan, saya merasa senasib sepenanggungan dengan mereka. Itulah yang memaksa kita untuk banyak membaca sejarah, memahami perjuangan perempuan di masa lampau. Agar kita tidak terjebak dalam doktrin bahwa perempuan itu lemah.

Karenanya yang terpenting adalah membebaskan diri dari segala macam ketidakadilan dengan banyak belajar, berorganisasi dan sering berdiskusi. Apalagi kita sebagai mahasiswa harus memahami konteks perempuan secara adil dan berkemajuan.

Kita buktikan pada dunia bahwa perempuan itu kuat, tangguh dan mampu berkarya untuk bangsa dan negara. Bila mendengar cerita mengenai perempuan, dengan tegas kita teriakkan bahwa perempuan bukanlah strata paling bawah dalam piramida sosial, melainkan berdampingan serta saling berkaitan dengan orang lain dalam kelompok masyarakat.

Bukan lagi saatnya berdiam menyaksikan berbagai problem yang menimpa perempuan. Tapi sekaranglah waktunya tampil dengan karya, bersaing secara intelek dan berjuang bersama demi kemajuan bersama.

Apalagi dalam konteks hukum, laki-laki dan perempuan sama (equality before the law) begitupun dalam konsep religius, Tuhan menciptakan manusia dengan sama dihadapan-Nya, tidak membeda-bedakan, kecuali tingkat keimanan kita.

Untuk itu saya mengajak mari kaum perempuan, kita bangkit dari keterpurukan demi meraih mimpi yang selama ini terkungkung dalam berbagai belenggu. Kita kibarkan bendera demokrasi dengan memegang teguh prinsip bahwa perempuan itu kuat, sama dengan laki-laki yang punya hak bukan hanya sekedar dalam ranah domestik tapi terlebih juga pada ranah publik.

ISMI/MULIANA AMRI