Oleh : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H.,
(Dosen STAI Al Gazali Soppeng)
Praktek diskriminasi pada masyarakat
Indonesia nampaknya cukup sulit untuk diberantas, mengingat doktrin agama,
sosial, maupun nilai-nilai moral begitu mengakar dalam prinsip pergaulan
sehari-hari mereka. Selanjutnya, doktrin ini seringkali berimplikasi pada
tindakan diskriminatif dan tidak mempertimbangkan dimensi lain yang mungkin
saja penting untuk dikritisi. Dari beberapa contoh bentuk diskriminasi
yang ada di sekitar penulis, terdapat satu kasus yang bisa
menjadi kajian cukup menarik apabila disoroti dari sudut pandang HAM.
Masalah yang penulis maksud adalah mengenai eksistensi waria, utamanya di
Kab.Soppeng yang masih dipandang sebelah mata bagi kebanyakan masyarakat.
Masalah tersebut berawal adanya rencana dari komunitas Waria melakukan Porseni
Waria Se Indonesia Timur yang di laksanakan di Kab. Soppeng, akan tetapi
rencana tersebut tiba-tiba di tolak oleh masyarakat yang mengatasnamakan Forum
Umat Islam (FUI) Kab. Soppeng. Meski sempat di gelar tapi harus berujung
pembubaran oleh pihak kepolisian karena izin dari Polda Sulsel belum keluar.
Penolakan dan Pembubaran inilah yang menjadi potensi adanya praktek
diskriminasi terhadap kaum waria khususnya dalam perspektif Hak Asasi Manusia
(HAM).
Untuk
menguatkan landasan teoritis apakah tindakan penolakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai diskriminasi atau bukan, mari kita mengembalikan pada
esensi diskriminasi itu sendiri. Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pasal 1 ayat 3, “diskriminasi diartikan sebagai setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan,
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya
dan aspek kehidupan lainnya.”
Dari
uraian di atas, salah satu indikator yang saya gunakan untuk menguatkan
argumen bahwa tindakan penolakan masyarakat kepada waria merupakan bentuk
diskriminasi adalah “pengucilan terhadap golongan” mereka dalam kehidupan
sosial masyarakat. Keberadaan waria di Kab.Soppeng seringkali
memunculkan aksi cercaan dan ejekan atau bahkan pengucilan dari berbagai
pihak karena dinilai menyalahi kodrat yang diberikan Tuhan. Namun sekali lagi
yang perlu saya tekankan di sini adalah sudut pandang yang digunakan. Analisis
terkait masalah ini kita pandang dari perspektif HAM, terlepas dari segala
nilai agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakat karena sejatinya nilai
HAM itu sendiri bersifat universal, artinya berlaku dimana saja dan untuk siapa
saja tanpa terkecuali bagi waria.
Untuk memilih jalan hidup seperti
demikian bukanlah hal mudah, mereka tentunya telah mempertimbangkan konsekuensi
sosial yang akan mereka terima ke depannya. Mengapa mereka tetap memutuskan
untuk menjadi waria meskipun tahu konsekuensinya akan sangat fatal? Di sinilah
HAM berbicara. Setiap orang memiliki alasan, begitu pula dengan mereka. Faktor
desakan ekonomi, atau orientasi seksual yang memang berbeda kerap kali menjadi
pendorong utama. Ingat, tidak ada orang di dunia ini yang berharap untuk hidup
dengan penuh cercaan dari orang lain. Jadi, apabila seseorang telah berani
untuk mengambil langkah, pastinya mereka juga telah memiliki alasan dan
pertimbangan yang matang.
Fakta lain yang sebenarnya cukup menarik
adalah keberadaan usaha tata rias pengantin (Indo Botting),Dekorasi Pelaminan
(Pa’gattung Lamming’’) Catering/juru masak (Pannasu), dan usaha salon di kab.
soppeng, yang mana pemiliknya sendiri adalah kebanyakan kaum waria. Hal
tersebut membuktikan bahwa kaum seperti mereka bisa saja diberdayakan pada
koridor yang benar, sehingga tidak muncul citra negatif dari masyarakat.
Sebagai masyarakat Indonesia yang beradab. Belum lagi kita berbicara pada
perspektif kearifan lokal dimana dalam suku bugis Makassar di kenal 5 jenis
kelamin yakni Burane,makkunrai, calaba’i, calala’I dan Bissu. Olehnya itu
memang perlu ada peran serta pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan
upaya-upaya dinas terkait, seperti dinas sosial untuk membantu dalam hal
pemberdayaan. Perluasan lapangan kerja merupakan salah satu opsi yang juga
efektif, karena tidak sedikit orang yang memutuskan menjadi waria karena
desakan kebutuhan ekonomi yang tidak bisa terpenuhi. Peran organisasi
keagamaan juga bisa lebih memaksimalkan pembinaan dan penyadaran kepada kaum
waria, seperti yang ada di Yogyakarta telah dibentuk pesantren khusus waria.
Serta upaya pembinaan dan pencegahan disorientasi seksual yang dapat dilakukan
Dinas Kesehatan tentunya dengan dukungan pemerintah daerah serta kesadaran
setiap masyarakat agar dapat membantu segala program pembinaan, penyadaraan dan
pencegahan yang akan dilakukan pemerintah.
Sekali lagi saya pertegas bahwa tulisan ini hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat tentunya memang selalu ada perbedaan pendapat, dan itu merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi kita yang mau tidak mau rentang dengan konflik, baik itu konflik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, individu dengan pemerintah, atau bahkan konflik antar lembaga Negara. Namun demokrasi tidak pernah mentolerir konflik yang merusak sistem. Karena salah satu esensi dari demokrasi adalah perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia setiap warga Negara. Semoga perdebatan terkait Waria di Kabupaten Soppeng dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk saling menghargai perbedaan tanpa harus mencederai hak asasi masing-masing individu. Janganlah kita menolak tanpa memberikan solusi yang bijak, karena sejatinya waria merupakan warga Negara Indonesia yang wajib mendapatkan perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak sipilnya. Termasuk hak untuk berekspresi, hak untuk berpendapat, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil di depan hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, serta hak untuk bebas dari rasa takut sebagaimana yang di atur dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 A-28 I.