Integritas Dan Independensi Pengawas Pilkada -->
Cari Berita

Integritas Dan Independensi Pengawas Pilkada

Rusdianto Sudirman,S.H, M.H.
Pengamat Hukum Pemilu
Dalam paradigma sistem politik demokrasi di dunia termasuk Indonesia sebagai negara yang sedang try and error dalam praktik sistem demokrasi sejati tatkala berlangsungnya pesta kedaulatan rakyat, baik dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif mulai tingkat presiden, gubernur, dan bupati/wali kota, pengawasan tahapan dan proses berlangsungnya pemilihan tersebut sangat diperlukan. Pilkada maupun pemilihan umum pileg dan pilpres adalah instrumen politik untuk memilih rezim baru dalam rangka menancapkan kekuasaan atas rakyatnya. Para kompetitor atau tim suksesnya tidak jarang akan melakukan apa pun demi meraih suara mayoritas, kendati harus menggunakan rumus dan strategi politik Machiavelli, menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.

Penyelenggara Pemilu (Pemilihan Umum) merupakan sebuah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu, yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota secara langsung oleh rakyat. Selain penyelenggara pemilu, terdapat pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang memiliki tugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Sehingga dalam pelaksanannya dibutuhkan integritas serta proses yang berkualitas demi menghasilkan pemilu yang akuntabel.

Namun dalam tulisan ini, penulis akan lebih fokus mengkaji mengenai integritas dan independensi panwas kabupaten/kota yang dalam proses rekrutmennya sangat rawang dengan berbagai kepentingan atau bahkan diselundupi oleh titipan kader bayangan partai politik tertentu.

Setidaknya ada beberapa hal yang mesti dimiliki oleh Panwas Kabupaten/Kota. Pertama, kapabilitas, artinya seorang Panwas Pemilihan Kabupaten/Kota harus menguasai materi dan strategi pengawasan pemilu, sistem hukum, politik dan perundang-undangan mengenai pemilu, serta mengetahui detail-detail setiap permasalahan dan solusi mengatasinya. Bagaimana mungkin panwas akan mengawasi pertandingan, bila panwas sendiri tidak menguasai aturan-aturan permainan.

Kedua, integritas, seorang panwas harus memiliki integritas yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Penguasaan materi pengawasan tidak akan efektif, apabila tidak disertai dengan integritas yang tinggi. Apalagi persoalan pemilihan kepala daerah sarat berbagai kepentingan politik. Calang-calang orang, bisa membuat  panwas menjadi boemerang. Problem yang selama ini menyelimuti dan menghantui bangsa ini adalah integritas. Integritas seakan menjadi barang langka dan mahal dalam laku anak bangsa. Dalam bahasa agama, kita menginginkan panwas yang berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Ketiga, akuntabilitas, seorang panwas harus bisa mempertanggungjawabkan segala tindak tanduk dan keputusannya kepada instansi yang lebih tinggi, yakni Bawaslu dan tak kalah paling penting kepada publik, baik secara politik maupun secara hukum. Artinya panwas bekerja akan diawasi oleh institusi di atasnya dan publik, sehingga pekerjaan-pekerjaan pengawasan tersebut harus terukur dan berjalan dalam koridor hukum dan peraturan yang menjadi aturan atau panduan dalam menjalankan tugas pengawasan.

Keempat, profesionalitas. Sebuah pekerjaan akan mudah dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi mumpuni. Menjadi profesional sejatinya, bekerja menggunakan kemampuan dan selaras dengan peraturan pekerjaan. Panwas yang profesional adalah panwas yang memiliki akumulasi kemampuan dan mampu diterjemahkan dalam tugasnya.

Kini, setelah penjaringan panwas di beberapa daerah di Indonesia dalam menyongsong Pilkada serentak 2018,  tentu harapan publik akan lahir panwas-panwas yang memiliki kompetensi mumpuni. Tidak hanya mumpuni dalam hal penyelenggaraan administrasi pengawasan, tapi juga mumpuni dalam ranah integritas.

Menjadi sebuah pekerjaan yang akan menuai konflik dan polemik, bila Panwas Pemilihan Kabupaten/Kota di isi oleh individu-individu yang hanya memiliki kompetensi administrasi tapi lemah integritas. Artinya akan mudah ditekan dan diintervensi oleh kekuatan eksternal. Alhasil, tidak bisa melakukan pengawasan secara netral, adil dan baik. Ujung-ujungnya panwas hanya melekat pada nama, bukan pada laku dan tindaknya sebagai pengawas lalu lintas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Kabupaten/Kota.

Satu syarat utama menjadi anggota Panwas adalah memiliki integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil. Secara etimologi, integritas atau aletheia berarti kebenaran atau keadaan menjadi benar (Gunche Lugo, 2008:19). Sementara secara terminologi integritas adalah ketaatan yang kuat pada sebuah kode, khususnya nilai moral atau nilai artistik tertentu (Adrian Gostik dan Dana Telford, 2006:13-14).

(Antonius Atosokhi Gea, 2006:23) berkata, “Orang yang memiliki integritas tidak mudah lepas kontrol atas berbagai tindakannya, terutama untuk hal yang memiliki dimensi etis (soal baik-buruk). Dia berlaku dan bertindak seakan-akan sedang diawasi, bukan saja oleh beberapa pasang mata tetapi juga oleh mata batinnya sendiri dan bahkan mata Tuhan yang merupakan hakim, yang senantiasa menjatuhkan penilaian pada dirinya dan pada apa yang dilakukannya.”

Integritas penting dalam mengembang tugas-tugas pengawasan, sama pentingnya dengan pengetahuan teknis kepemiluan serta pemahaman dasar tentang sistem politik Indonesia kontemporer.  Tanpa integritas maka mereka yang diberi amanah sebagai anggota Panwas riskan untuk melakukan malfungsi dalam implementasi tugas dan perannya. Tanpa pengetahuan kepemiluan, dapat membuka ruang bagi terjadinya disfungsi tugas.

Adapun integritas atau integrity adalah suatu sikap yang menunjukkan konsistensi antara tindakan dengan nilai  dan prinsip yang dianut. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocricy (hipokrit atau munafik). Seseorang mempunyai integritas apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya. Di dalam bahasa UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, sikap independensi dan integritas itu diterjemahkan sebagai berkewajiban bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya (Pasal 74, 76, 78, 80, dan 82 huruf a.), dan mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur, dan adil, serta memiliki pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu dan pengawasan Pemilu (Pasal 85).

Seorang penyelenggara pemilu dalam hal ini Pengawas pemilu/pilkada diharuskan menjaga sikap independensi dan integritas diri. Secara sederhana, sikap independen adalah bersikap netral, membebaskan diri, menghindarkan intervensi dan tidak memihak dari/kepada pihak manapun secara politik, program maupun personal. Independen harus mengarah pada sikap bebas dan mandiri yang benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam koridor norma agama dan hukum. Tingkat independensi seseorang berkorelasi dengan tingkat pengetahuan dan kepercayaan diri yang bersangkutan serta keyakinan akan nilai-nilai yang dianut.

Seorang komisioner Panwas dituntut selain profesional dan memiliki kemampuan di bidangnya, ia harus menunjukkan sikap bertanggung jawab atas amanah yang telah diberikan oleh negara. Tidak sedikit yang terjebak dengan nilai pragmatisme sesaat sehingga dengan sangat berani integritas dikorbankan.


Kini saatnya dibuktikan kepada publik bahwa idealisme Panwas tidak sanggup diganti dengan nilai pragmatisme alias memihak kepada salah satu kandidat. Urusan “rekomendasi” sebelum terpilih itu urusan lain, tetapi profesionalitas dan integritas menjadi taruhan, dan hal ini berimplikasi kepada masa depan komisioner Panwas itu sendiri. Pilih happy moment atau always happy, hanya komisioner sendiri yang menentukan. (**********)