Ibrah Sosok Ibnu Abbas -->
Cari Berita

Ibrah Sosok Ibnu Abbas

JURNAL, Bugiswarta.com -- Orang bijak pasti menyadari bahwa untuk menggapai tujuan, ia harus berlari menjemputnya. Ilmu adalah tujuan yang luhur, kekasih yang mahal harganya dan berkedudukan tinggi. Untuk meraihnya, jalan terjal sudah menanti. Kesukaran yang tiada terukur siap mengubur.
            Ilmu mustahil bisa direngkuh tanpa ikhtiar maksimal dan pengorbanan yang besar. Harta, waktu, istirahat, keluarga dan para sahabat, dan seluruh kesenangan duniawi adalah perkara-perkara yang harus dikorbankan. Kata pepatah, “Ilmu tidak akan didapatkan kecuali engkau telah mengorbankan dirimu untuknya secara total.”[1]
Ilmu adalah karya dan aktivitas hati. Jika Anda tidak mau meluangkan waktu untuk ilmu, tentu Anda tidka akan mendapatkannya. Jika Anda arahkan diri Anda pada kesenangan-kesenangan nafsu, Anda akan jauh dari ilmu. Orang yang lebih mengutamakan kesenangan nafsunya daripada kenikmatannya mendapatkan ilmu. Tetapi jika ia bisa membayangkan nikmatnya mendapatkan ilmu, ia masih punya harapan untuk menjadi anggota keluarga besar orang-orang berilmu. Itulah sebabnya mengapa para ulama kita terdahulu begitu antusias dalam menuntut dan menghimpun ilmu. Antusias mereka sungguh tidak ada bandingannya. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
1.      Ibnu Abbas
Dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. ia berkata, “Pada suatu hari aku sedang bersama seorang tetanggaku bernama Aus bin Khawali al-Anshari dari Bani Umayyah bin Zaid. Kami bergantian menemui Rasulullah saw. ia menemui beliau pada suatu hari, dan pada hari berikutnya giliran aku yang menemui beliau. Begitu seterusnya. Selesai bertemu beliau, aku datang menemuinya dengan membawa berita hari itu tentang wahyu dan yang lainnya. Demikian pula yang ia lakukan padaku.”
Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, “Ketika Rasulullah saw. telah wafat, pada suatu hari aku berkata kepada seorang sahabat Anshar, “Mari kita menemui sahabat-sahabat Rasulullah saw. sesungguhnya pada hari ini mereka cukup banyak.” Ia berkata, “ Aku heran pada Anda wahai Ibnu Abbas! Anda lihat sendiri, orang-orang sedang membutuhkan Anda dan di antara mereka terdapat sahabat Rasulullah saw., jadi siapa di antara mereka yang akan Anda temui?” Aku tidak menghiraukan hal itu, aku lalu berangkat untuk bertanya kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw. Setiap kali aku mendengar ada orang yang punya hadits, langsung aku datangi rumahnya. Jika ia sedang tidur siang, aku rela menunggu di depan pintunya duduk berbantalkan kain sorbanku. Aku tidak peduli dengan tiupan angin yang menaburkan debu pada wajahku. Begitu ia keluar dan melihat aku ia berkata, “Wahai sepupu Rasulullah saw, ada apa Anda datang? Kenapa Anda tidak suruh orang lain mengundangku saja? Pasti aku akan datang pada Anda.” Aku berkata, “Tidak. Akulah yang harus datang pada Anda.” Aku kemudian bertanya kepadanya tentang hadits. Orang Anshar itu diam-diam mengikuti aku. Melihat aku dikerumuni oleh orang banyak yang ingin bertanya kepadaku ia berkata, “Benar. Anak muda itu lebih pintar daripada aku.”
Ketika beberapa negara telah berhasil ditaklukkan oleh kaum Muslimin, Ibnu  Abbas lebih memilih kehausan oleh udara yang panas karena harus menelusuri jalan-jalan kota Madinah demi mencari ilmu, daripada bernaung di bawah pohon taman-taman di Syria, atau di tepi-tepi sungai Nil, sungai Tigris, dan sungai Ifrat.
 Ibnu Abbas bercerita, “Ketika beberapa kota berhasil ditaklukkan oleh pasukan Islam, orang-orang mencari harta dunia. Sedangkan aku memilih menemui Umar bin Khattab.
Setiap anak manusia punya keinginan
dan keinginanku adalah sehat serta punya waktu luang
guna mendapatkan ilmu syariat
sebagai bekal ke surga
Untuk hal seperti itulah
seharusnya orang-orang yang berakal saling berlomba
Bagiku, dunia adalah bekal yang menipu
dan kebahagiaan sejati itu ada di surga yang abadi
Ibnu Abbas ra. bercerita tentang kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia mengatakan, “Aku biasa datang ke rumah Ubai bin Ka’ab. Jika ia sedang tidur, aku rela menunggunya sambil tidur di depan pintunya. Melihat kedudukanku sebagai kerabat Rasulullah, aku yakin ia tidak akan marah jika dibangunkan karena kedatanganku. Tetapi aku tidak mau membuatnya bosan.”
Ibnu Abbas ra. juga pernah mengatakan, “Aku sangat dekat dengan beberapa sahabat Rasulullah yang senior, baik dari golongan Muhajirin maupun golongan Anshar. Aku sering bertanya kepada mereka tentang peperangan-peperangan yang diikuti Rasulullah saw. dan juga tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan hal itu. Aku berusaha menemui siapapun dengan cara menyamar. Hal itu demi menjaga perasaannya mengingat aku adalah kerabat dekat Rasulullah saw.  Pada suatu hari aku bertanya kepada Ubai bin Ka’ab, seorang yang punya ilmu cukup mendalam, tentang surat-surat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah. Kemudian ia pun menjawab, “Yang diturunkan di Madinah itu ada dua puluh tujuh surat, dan sisanya diturunkan di Mekkah.”[2]
Karena kealiman dan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu, Ibnu Abbas senantiasa diajak bermusyawarah oleh khalifah rasyidah (yang bijaksana), sekalipun ia masih muda belia. Apabila Khalifah Umar bin Khattab menghadapi suatu persoalan sulit, diundangnya ulama-ulama terkemuka termasuk Ibnu Abbas yang masih muda belia. Bila Ibnu Abbas hadir, Khalifah Umar memberikan tempat duduk yang lebih tinggi, sementara sang khalifah sendiri duduk di tempat yang lebih rendah seraya berkata, “Anda lebih berbobot dari kami.”
Pada suatu ketika, pernah Khalifah Umar mendapat kritik karena perlakuan yang diberikannya kepada Ibnu Abbas melebihi ulama-ulama yang lebih tua usianya. Maka, kata Umar, “Dia adalah pemuda, tapi berpikiran seperti orang tua. Ia lebih banyak belajar dan berhati tenang.”
Ketika Ibnu Abbas beralih mengajar orang-orang tertentu, ia tetap tidak melupakan kewajibannya terhadap orang-orang awam. Maka, dibentuknya majelis-majelis wa’azh dan tadzkir (pendidikan dan pengajaran). Diantara waktu-waktu mengajarnya, ia tetap giat berdakwah.[3]
Amr bin Dinar pernah berkata, “Aku belum pernah melihat sebuah majelis ilmu yang menghimpun segala macam kebaikan selain majelis ilmu Ibnu Abbas. Di dalam majelis ilmunya, diajarkan ilmu tentang halal-haram, ilmu fiqh, ilmu bahasa Arab, ilmu geneologi, dna ilmu sya’ir.”



[1]Abdul Fattah Abu Ghuddah, Safahat min Sabr al-Ulama’ ‘Ala Syadaid al-Ilm wa at-Tahsil. Diterjemahkan oleh Fatih Masrur dan Miftahul Asror dengan judul Berpetualang Mencari Ilmu (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), h. 144

[2]Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, Uluwwah Himmah. Diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto dengan judul Meraih Cita-Cita Dengan Semangat Membara (Cet. I; Jakarta: Robbani Press, 2005), h. 191

[3]Teguh Pramono, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa (Cet. I; Yogyakarta: Diva Press, 2012), h. 19