Kisah Para Penuntut Ilmu -->
Cari Berita

Kisah Para Penuntut Ilmu


mulianaamri.wordpress.com
Kebahagiaan, kedamaian, dan ketentraman hati senantiasa berawal dari ilmu pengetahuan. Itu terjadi karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang, dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu, naluri dari jiwa manusia itu adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru dan ingin mengungkap sesuatu yang menarik.
Kebodohan itu sangat membosankan dan menyedihkan. Pasalnya, ia tidak  seperti hari ini, dan yang hari ini pun akan sama dengan yang akan terjadi esok hari.
Bila Anda ingin senantiasa bahagia, tuntutlah ilmu, galilah pengetahuan, dan raihlah berbagai manfaat, niscaya semua kesedihan, kepedihan dan kecemasan itu akan sirna. 

1. Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib, khalifah Islam keempat, adalah orang yang sangat jenius. Pada saat itu, hanya ada segelintir orang yang mampu menerima anugerah sedemikian lengkap, seperti yang diterima Ali, seperti watak ksatria, berpengetahuan luas, sangat shaleh dalam beragama, serta kejernihan pikirannya. Karakter istimewa  ini memang layak disandarkan kepadanya, yang juga menantu Rasulullah dan dibesarkan dan dituntun sendiri oleh Rasulullah.[1]

Dibesarkan sendiri oleh Nabi Muhammad dan berkesempatan menemani beliau selama sekitar 30 tahun, Ali menempati posisi yang unik sebagai intelektual terbesar di antara para sahabat Rasulullah, ia juga dikenal sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan Islam. Di dalam kitab Izalat ul-Khifa, Shah Waliullah, atas nama Imam Hanbali, memuji  intelektualitas Ali yang tinggi. Kenyataan ini juga dikuatkan Rasulullah, beliau bersabda, “Aku menjadi gudang ilmu pengetahuan, sedangkan Ali menjadi gerbangnya.”

Ali juga seorang hafidz Qur’an dan penafsir berkualitas tinggi. Bersama Ibnu Abbas, Ali dianggap sebagai ahli tafsir Al-Qur’an yang terbesar. Selama enam bulan pertama kekhalifahan Abu Bakar, ia bahkan turut mengatur bab-bab dalam Al-Qur’an menurut urutan-urutan waktu turunnya wahyu.

2. Imam Syafi’i

Imam Syafi’i (150 H-204 H) berkata, ”Aku tak memiliki harta, namun kutuntut ilmu sejak usia muda (sekitar 13 tahun). Aku berangkat ke perkantoran untuk mencari kertas-kertas bekas yang nantinya kumanfaatkan sebagai buku tulis.” Demikianlah penuturan al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam al-Intifa’ fii Fadail as-Salasah al-Aimmah al-Fuqaha’.

Al-Baihaqi dalam Manaqib asy-Syafi’i, Qadhi Iyadh dalam Tartib al-Madarik, dan Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Udaba’ menyajikan biografi Imam Syafi’i. Berikut sepenggal kisah Imam Syafi’i, sebagaimana dikemukakannya sendiri:
Aku berada di sebuah kuttab (tempat belajar-mengajar). Aku memperhatikan seorang guru yang sedang mengajar muridnya yang masih seusia denganku. Aku hafalkan pelajaran yang disampaikannya. Ibuku memanng tidak sanggup mengupah seorang guru untuk mendidikku, karena aku anak yatim. Guru itu dengan lapang dada membolehkanku mengikuti pelajarannya. Para murid menulis pelajaran yang didiktekan guru. Sebelum sang guru selesai mendikte, aku telah hafal semua yang kutulis. Karena sang guru memahami keadaanku, suatu hari ia berujar, “Aku tidak halal untuk memungut sesuatu darimu.”
Kadangkala aku meninggalkan kuttab untuk mengumpulkan tembikar, pelepah kurma, dan papan. Di benda-benda itu, aku menulis hadits. Tak jarang aku mendatangi perkantoran untuk memunguti kertas bekas yang masih bisa difungsikan sebagai buku tulis. Akibat kegiatanku itu, rak ibuku penuh dengan tumpukan kertas bekas.
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadlihi wa maa Yanbagi fii Riwayatihi wa Hamlihi mengutip penuturan Imam Syafi’i yang mengenang masa-masa pahit ketika menuntut ilmu:
Sejak kecil, aku telah yatim. Aku tinggal bersama ibuku. Ibu membawaku ke sebuah kuttab, padahal ia tak punya apa-apa untuk dibayarkan kepada guru. Untungnya, sang guru ikhlas aku mengikuti pelajarannya.
Aku berhasil menghafal Al-Qur’an. Kemudian aku mendatangi mesjid dan mengikuti majelis keilmuan para ulama. Segenap riwayat hadits dan ilmu lain aku hafalkan. Ibuku sangat miskin dan tidak memiliki uang sepeser pun untuk membeli kertas, terpaksa apabila ada tulang putih, aku memungutnya dan menulis di permukaannya. Jika telah penuh, aku melemparnya ke tempat semula.
Suatu ketika penguasa Yaman berkunjung. Orang-orang keturunan Quraisy memintaku untuk menemaninya dan mengajaknya berbincang-bincang karena aku dianggap orang berpendidikan. Padahal, ibuku tak punya uang sama sekali untuk membelikanku pakaian. Maka ibu menggadaikan selendangnya seharga 16 dinar. Uangnya diberikan kepadaku, sehingga aku bisa berpakaian sepantasnya ketika hendak menemui penguasa Yaman tersebut.[2]
Ibnu Abu Hatim berkata, aku pernah mendengan al-Buzani mengatakan, As-Syafi’i ditanya, “Bagaimana kesenangan Anda terhadap ilmu?” Ia menjawab, “Setiap kali mendengar satu kalimat yang belum pernah aku dengar, seluruh anggota tubuhku merasakan nikmat seolah-olah semua bisa mendengar seperti sepasang telinga.” As-Syafi’i ditanya, “Bagaimana antusias Anda terhadap ilmu?” Ia menjawab, “Seperti orang materialistis yang serakah ketika melihat peluang mendapatkan harta yang banyak.” As-Syafi’i juga ditanya, “Bagaimana keadaan Anda dalam mencari ilmu?” Ia menjawab, “Seperti seorang ibu yang mencari putera satu-satunya yang hilang.”[3] 

3. Imam Malik

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahi. Ia lahir dari kalangan orang berilmu, dan tumbuh dewasa dengan melalui hari-hari yang sarat dengan pencarian ilmu. Imam Malik memiliki kecerdasan dan kemampuan menghapal yang luar biasa. Bila ia mendengar dan mempelajari tiga puluh buah hadits, dalam waktu sebentar saja ia telah menghapalnya. Dan ia telah hapal Al-Qur’an pada usia muda. Di Madinah, ia belajar kepada para ulama pada zamannya, diantaranya Nafi’ bin Abi Na’im, Zuhri, dan Nafi’ bekas budak Abdullah bin Umar bin Khattab, khalifah yang sangat masyhur itu. Ia juga belajar kepada Rabi’ah bin Abdur Rahman yang lebih dikenal dengan nama Abdur Rahman Ar-Ra’yu. Kepada ulama itulah ia dahulu disarankan untuk belajar fiqih dan hadits, sebelum mempelajari akhlaknya, oleh ibunya. Pada kesempatan lain, ia pernah belajar khusus kepada seorang ulama saja, yaitu di antaranya kepada Ibnu Hurmuz. Kepadanya ia menimba ilmu selama tujuh tahun tanpa diselingi dengan belajar kepada ulama lain.[4]
Kecerdasan dan ketekunan Imam Malik menjadikannya ulama besar, sehingga ia jadi guru dari para ulama pada zamannya, di antaranya Auza’i, Syafi’i, dan Yahya bin Zaid. Bahkan guru-gurunya pun menjadikannya kawan berdialog dan bertukar pikiran, seperti Yahya Al-Anshari, Muhammad bin Salim Az-Zuhri, dan Nafi’. Tidak jarang mereka mendengarkan syarah hadits-hadits Rasulullah darinya.
Seiring dengan semakin dalamnya ilmu Imam Malik, maka kepercayaan umat pun semakin besar  bertambah terhadap ilmu yang dimiliki Imam Malik, sehingga salah seorang di antara mereka, Al-Mansur Al-Abbasi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang berhak memberi fatwa, kecuali Malik bin Anas dan Ibnu Abi Dzuaib atau Abu Harits Muhammad bin Abdur Rahman bin Mughirah.”
Dalam sebuah majelisnya yang diadakan di masjid, Imam Malik menyatakan, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, oleh karena itu lihatlah dari siapa kalian mengambilnya. Aku telah menjumpai lebih dari tujuh puluh syaikh yang mengatakan “Qaala Rasulullah” di bawah tiang masjid ini, namun sedikitpun aku tidak mengambil dari mereka. Padahal mereka itu diberi amanah untuk mengemban baitul maal, pastilah dapat dipercaya. Hanya saja aku lihat mereka itu bukanlah ahlinya (bukan ahli dalam meriwayatkan hadits). Pernyataan Imam Malik itu menunjukkan ketelitian dan kahati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Ia tidak akan menerima riwayat hadits dari siapa pun kecuali bila ia telah meyakini keshahihan riwayat itu. Di samping itu, Imam Malik dikenal sangat menghhormati hadits. Bila ia hendak mengajarkan hadits, ia berwudhu, merapikan jenggot dan pakaiannya, kemudian duduk di atas tikarnya. Ketika ditanya mengapa demikian, ia menjawab, “Aku ingin mengagungkan dan menghormati hadits Rasulullah, dan aku tidak mengajarkan atau mengucapkan sebuah hadits pun kecuali setelah yakin bahwa aku dalam keadaan suci.”[5]
Penghormatan yang sedemikian besar kepada hadits Nabi tentu saja mencerminkan betapa besar penghormatannya kepada Nabi. Dengan maksud itulah ia tidak pernah menunggang kendaraan (kuda dan sejenisnya) dan tidak pula mengenakan terompah di kota Madinah. Ia mengatakan, “Aku tidak menunggang kendaraan di kota Madinah, karena di dalamnya ada jasad Rasulullah dikubur.” Dan alasan karena itu pula ia tidak mau meninggalkan kota Madinah untuk tinggal di kota lain, sehingga ia selalu menolak undangan para penguasa Daulah Abbasiyah untuk datang ke Baghdad. Ia selalu berharap pertemuan dengan mereka ditunda hingga musim haji tiba. Pada saat itulah penguasa itu mendatangi Imam Malik, dan bukannya ia yang datang pada mereka. Baginya, Madinah adalah tempat lebih baik bagi para penguasa itu bila mereka mengetahuinya.
Demikianlah Imam Malik telah dimuliakan Allah dengan kemampuan memahami dan menghapal banyak hadits Rasulullah. Ia telah menghabiskan umurnya untuk memahami hadits dan mendalaminya dengan detail, hingga jadilah ia seorang imam ahli hadits.
Aun bi Umarah menuturkan, “Aku pernah mendengar bahwa Hisyam Ad-Dastuwa’i berkata, “Demi Allah! Aku tidak pernah mampu untuk berkata, ‘aku pergi sehari hanya untuk mencari hadits demi mencari keridhaan Allah Swt. semata. ” Dzahabi menuturkan, “demi Allah! Aku juga seperti itu. Kaum salaf juga menuntut ilmu karena Allah Swt. semata. Oleh karena itu, mereka dikaruniakan kecerdasan akal. Jadi, mari kita mengharap keselamatan dan ampunan Allah Swt. sebagaimana para salaf berkata, “aku bukanlah seorang alim dan aku tidak memandang bahwa diriku adalah seorang alim.” Abu Aliyah menuturkan, “Aku pernah belajar Al-Qur’an dan sunnah yang sama sekali tidak diketahui oleh keluargaku sendiri sebagaimana tidak pernah ada bekas tinta dipakaianku.”[6]

4. Mu’adz bin Jabal

Nama lengkapnya adalah  Mu’adz bin Jabal bin Amr bin Aus Al-Anshari Al-Khazraji, biasa dipanggil Abu Abdurrahman. Ia adalah salah satu di antara enam sahabat yang hafal Al-Qur’an pada masa Nabi. Ia ikut dalam Perang Badar dan peperangan-peperangan lainnya. Ia adalah sosok sahabat yang terkenal cerdas, otaknya cemerlang, manis tutur katanya. Dalam sebuah majelis, ia tidak memulai pembicaraan kecuali ada yang bertanya. Ketika berbicara, dari lisannya seolah muncul cahaya dan mutiara. Ia adalah sosok sahabat yang berwibawa, dermawan, budi pekertinya baik, dan wajahnya tampan.
Nabi pernah mengutusnya ke Yaman sebagai hakim dan guru bagi penduduk setempat. Beliau mengatakan dalam sepucuk surat yang dibawa Mu’adz, “Aku utus kepada kalian orang terbaik dari keluargaku.”
Sebelum Mu’adz berangkat ke Yaman dalam rangka melaksanakan tugas sebagai hakim di sana, Rasulullah bertanya, “Dengan dasar apa kamu memutuskan perkara, wahai Mu’adz?” Mu’adz menjawab, “Dengan kitab Allah (Al-Qur’an).” Rasulullah menanyakannya lagi, “jika kamu tidak jumpai dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah.” Beliau berkata, “Jika kamu tidak jumpai dalam sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan mengoptimalkan akal pikiranku.” Rasulullah membenarkan ucapan Mu’adz dan berkata, “Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya.”[7]
Tentang Mu’adz bin Jabal, Rasulullah mengatakan, “Orang yang paling mengerti tentang perkara halal haram di antara umatku adalah Mu’adz bin Jabal dan ia adalah pemimpin para ulama di hari kiamat nanti.”
Suatu hari, Rasulullah mengatakan kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Setiap selesai shalat janganlah kamu lupa mengucapkan, “Ya Allah, berilah pertolongan kepada hamba-Mu untuk senantiasa mengingat-Mu dan beribadah dengan ikhlas kepada-Mu.” Mu’adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya dengan cepat.
Tentang Mu’adz, Umar bin Khattab mengatakan, “Kalau tidak ada Mu’adz, celakalah Umar.” Umar memang sering mengajak Mu’adz bermusyawarah dan memintai pendapatnya.
Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, “Mu’adz adalah orang yang selalu khusyu’ dalam beribadah kepada Allah dan beragama secara hanif (lurus). Kami biasa menyerupakan Mu’adz dengan Nabi Ibrahim.”
Ia pernah mengatakan, “Kenalilah kebenaran dengan kebenaran, karena kebenaran itu memiliki cahaya, dan berhati-hatilah kalian terhadap putusan hakim yang menyimpang.” Ia juga pernah mengatakan, “Pelajarilah ilmu apa saja yang kalian inginkan, karena Allah tidak akan memberikan manfaat dari ilmu kalian hingga kalian mengamalkannya.”
Umar bin Khattab pernah mengusulkan kepada Abu Bakar agar Mu’adz membagi dua harta kekayaannya saat menjabat gubernur Yaman tapi, ia menolak dan menerima keberatannya. Kemudian Umar menemui Abu Bakar, tetapi Abu Bakar menolak mengambil harta tersebut. Lalu Umar berujar, “Sekarang harta ini halal lagi baik.”
Pada waktu Rasulullah hijrah ke Madinah, Mu’adz senantiasa berada bersama dengan Rasulullah sehingga ia dapat memahami Al-Qur’an dan syariat-syariat Islam dengan baik. Hal itu kemudian membuatnya di kemudian hari muncul sebagai seorang yang paling ahli tentang Al-Qur’an dari kalangan para sahabat. Ia adalah orang yang paling baik membaca Al-Qur’anserta paling memahami syariat-syariat Allah. Selain itu, Mu’adz merupakan salah satu dari enam orang yang mengmpulkan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah.[8]
Ia meriwayatkan 157 hadits dari Nabi. Di antaranya, Rasulullah pernah mengutusnya ke Yaman. Sebelum berangkat, Beliau berpesan, “Kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah mematuhinya, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat lima kali dalam sehari semalam. Jika mereka telah mematuhinya, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang dipungut dari orang kaya mereka dan disalurkan kepada fakir  miskin mereka. Jika mereka telah mematuhinya, maka berhati-hatilah kamu terhadap harta mereka dan takutlah kamu terhadap doa orang yang teraniaya, karena antara doanya dengan Allah tidak ada hijab (tabir).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menjelang akhir hayatnya, Mu’adz bin Jabal berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini akau mengarapakan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketaatan.”[9]
Ketika akan meninggal, ia mengatakan, “Selamat datang maut, kekasih yang datang kepada orang yang merindukannya. Ia meninggal di Jordania bagian timur tahun 18 H dan jasadnya dimakamkan di Al-Ghaur.[10]

5. Imam Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi, ia lahir pada tahun 450 H dan wafat 505 H. Ayahnya adalah seorang yang shaleh yang memiliki kebiasaan mendatangi para ulama dalam majelis-majelis pengajian.
Ayah Al-Ghazali meninggal saat Imam Al-Ghazali masih kecil. Dari harta peninggalan ayahnya, ia bersama adiknya Ahmad Al-Ghazali menuntut ilmu ke berbagai ulama. Setelah harta warisannya habis, ia kemudian menuntut ilmu di salah satu madrasah yang menjamin seluruh biaya untuk menuntut ilmu. dalam menuntut ilmu Imam Al-Ghazali sangat tekun, sehingga ia memperoleh ilmu dan menguasainya dengan luar biasa. Berbagai bidang ia kuasai seperti fiqh, akidah, akhlak, tasawuf, sejarah, bahkan filsafat sekalipun.
Dengan penguasaan ilmu tersebut, Imam Al-Ghazali dipercaya untuk mengelola Madrasah Nizamiyah di Baghdad sehingga majelis taklim ini didatangi para ulama tidak kurang dari 300 ulama yang ingin berguru kepada Imam Al-Ghazali. Akan tetapi, walau demikian, Al-Ghazali merasa masih perlu untuk terus menuntut ilmu. Ia lalu meninggalkan Baghdad dan menuntut ilmu ke berbagai kota, ia menuju Syiria untuk ber-mujahadah dan ber-uzlah (mengasingkan diri dari kehidupan dan keramaian) selama dua tahun, guna mencari esensi hakiki kehidupan. Al-Ghazali juga berziarah ke makam Rasulullah dan juga ke makam para auliya’[11] untuk pendekatan diri kepada Allah.
Imam Al-Ghazali pernah mengatakan, “Sekarang aku tidak seperti dahulu. Jika dahulu aku masih mencari kedudukan. Sekarang tujuanku memperbaiki pribadiku sendiri dan juga orang lain. Aku mengajak menuju ilmu yang bisa untuk meninggalkan kedudukan duniawi dan untuk mengetahui rendahnya mencari kedudukan. Bukan aku yang menggerakkan, tetapi Allah yang memperjalankan aku. Segala sesuatu yang aku kerjakan semata-mata ikhlas karena Allah.”[12]

Referensi:

[1]Abdul Fattah Abu Ghuddah, Safahat min Sabr al-Ulama’ ‘Ala Syadaid al-Ilm wa at-Tahsil. Diterjemahkan oleh Fatih Masrur dan Miftahul Asror dengan judul Berpetualang Mencari Ilmu (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), h. 144

[2]Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, Uluwwah Himmah. Diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto dengan judul Meraih Cita-Cita Dengan Semangat Membara (Cet. I; Jakarta: Robbani Press, 2005), h. 191

[3]Teguh Pramono, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa (Cet. I; Yogyakarta: Diva Press, 2012), h. 19

[4]Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ketabahan Para Pencari Ilmu (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), h. 51

[5]Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, op.cit., h. 192

[6]Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah, Islamu Bi Laa Madzaahib. Diterjemahkan oleh A.M. Basalamah dengan judul Islam Tidak Bermazhab (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 337

[7]Mahmud Al-Mishri, “Mausu’ah min Akhlaqir-Rasul”. Diterjemahkan oleh Abdul Amin  dengan judul Ensiklopedia Akhlak Muhammad (Cet. II; Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011), h. 85

[8]Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 110

[9]Yanuar Arifin, Rekam Jejak Para Sahabat Kaya Raya (Cet. I; Yogyakarta: Sabil, 2012), h. 156

[110]Muhammad Sa’id Mursi, op.cit., h. 112

[11]Auliya’ adalah jamak dari wali, artinya kekasih Allah

[12]Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 176