OPINI : POLITIK DINASTI MERINTIS KORUPSI -->
Cari Berita

OPINI : POLITIK DINASTI MERINTIS KORUPSI

Oleh : Rusdianto Sudirman, SH, MH.
 
Dinasti politik pada umumnya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan yang hanya terpusat pada sekelompok orang atau keluarga elite tertentu.

Dalam bentuk yang agak halus dinasti politik sering muncul dengan cara mendorong sanak keluarga kelompok elite tertentu untuk terus memegang kekuasaan secara demokratis.

Dinasti politik seperti ini biasanya dilakukan penyesuaian terhadap sistem demokrasi modern dengan cara mempersiapkan kerabat petahana dalam sistem  rekrutmen politik yang sedemikian rupa.

Sehingga apabila mereka muncul ke publik, kemunculannya seolah-olah bukan diakibatkan oleh karena faktor darah dan keluarga, akan tetapi karena faktor-faktor sistem perpolitikan yang lebih wajar dan rasional.

Hal inilah yang kemudian membuat politik dinasti berpotensi merintis terjadinya korupsi,hal ini terjadi  Karena memang karakter dinasti politik di Indonesia mengabaikan nilai integritas, kompetensi, dan kapasitas. 

Kasus Dinasti Ratu Atut dan Bupati Klaten Sri Hartini , membuktikan kaitan erat dan signifikan antara dinasti politik dan korupsi.Korupsi akan mulai tumbuh dan berkembang di sebuah negara demokrasi ketika sistem pemerintahan yang dipisahkan dan bersifat terbuka serta saling mengawasi berubah menjadi sistem pemerintahan yang mulai dirancang dengan pendekatan dinasti ala kerajaan, baik antar keturunan ataupun antar kerabat.

Ketika praktik politik dinasti mulai tersebar di seluruh daerah maka korupsi juga akan berevolusi. Kasusnya tidak hanya menimpa di pusat pemerintahan tetapi juga di daerah-daerah.

Pelakunya juga bukan hanya tokoh politik atau birokrat pusat tetapi tokoh politik dan birokrasi lokal. Karena dinasti politik hanya akan melahirkan nepotisme dan kolusi yang bermuara pada korupsi yang sistematis sekaligus terorganisir.

Hal ini akan terlihat sangat jelas dengan logika bahwa dalam politik dinasti, seseorang yang duduk dalam bangku kekuasaan akan memprioritaskan kerabat dekatnya atau keluarganya untuk juga bisa mendapatkan kekuasaan atau dalam level terkecil mendapatkan jabatan sebagai aparatur negara atau lingkup-lingkup dibawahnya.

Penulis teringat dengan adagium Lord Acton, "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely," dinasti politik yang berpola seperti diatas akan terlihat sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang dan otoritas, yang tentu saja hal itu merupakan sebuah bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil.

Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pilkada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk memenangkan pilkada.

pembatasan dinasti politik diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah.

Untuk itu menurut penulis larangan atau pembatasan  keluarga petahana untuk maju sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah perlu dipikirkan kembali untuk di atur dalam paksaan UU, pembatasan tersebut tidak dapat dikatakan melanggar hak konstitusional warga Negara karena pada prinsipnya hanya bersifat mengatur bukan mematikan atau mencabut hak politik seseorang.

Dan hal ini sesuai dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 Yang menyatakan : "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. "

Pembatasan itu penting karena mengingat Petahana (baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah)  dinilai atau dianggap sebagai posisi yang paling rawan untuk disalahgunakan dibanding jabatan politik lainnya. Sehingga pembentuk  Undang-Undang  merasa perlu memberi berbagai batasan agar jabatan atau posisi politik  sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak disalahgunakan.  

Dengan begitu para calon yang akan bertarung dalam pilkada berada dalam posisi equal atau setara tanpa adanya penyalahgunaan kewenangan, pengunaan fasilitas, serta pengaruh ataupun intervensi dari petahana.

secara konstitusional memang tidak ada larangan bagi keluarga petahana untuk maju dalam proses pilkada. Akan tetapi secara etika politik tentunya ini sangat tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, dimana dalam hal ini dinasti politik muncul sebagai musuh demokrasi itu sendiri karena peran publik sama sekali tidak dipertimbangkan.

Kata rakyat, Demokrasi, dan kata Politik dalam konstitusi kita pada dasarnya merujuk pada hal yang sama yaitu untuk kesejahteraan umum atau kepentingan orang banyak. Artinya politik dalam faham ketatanegaraan kita secara prinsipil harus bersumber dan sekaligus diarahkan untuk kepentingan umum/kesejahteraan umum.  

Jadi secara tegas Politik dinasti  berlawanan dengan prinsip demokrasi karena didalamnya  yang menjadi dasar dan tujuan adalah kepentingan pribadi (private interest). Dari contoh kasus Dinasti Ratu Atut di Banten dan Bupati Klaten Sri Hartini di atas, publik sudah dapat membuka mata betapa politik dinasti hanya melahirkan koruptor-koruptor baru, ini karena kewenangan yang dimiliki begitu besar akan tetapi pihak yang seharusnya mengawasi malah ikut bersama-sama melakukan korupsi karena adanya hubungan kekerabatan antara eksekutif dan legislatif.

Dinasti politik memang sama sekali tidak mencederai prosedur demokrasi kita, akan tetapi secara prinsip sangat merusak subtansi politik dan demokrasi, Sejatinya, dinasti politik dapat dibenarkan, jika dimulai dengan memberikan pembelajaran politik terhadap kerabat terdekat atau bahkan keluarga agar jiwa politik yang didasarkan pada pemahaman tata kehidupan bernegara dan berbangsa dapat tumbuh di kalangan kerabat terdekat maupun keluarga.

Sehingga dalam pembahasan dinasti politik dan korupsi ini, sebenarnya lebih menitikberatkan kepada aktor politiknya itu sendiri, apakah mereka membangun sebuah dinasti politik berdasarkan kesadaran untuk menciptakan tata kehidupan bernegara dan berbangsa dengan baik dan benar, ataukah membangun sebuah dinasti politik dengan kesadaran untuk mempertahankan kekuasaan yang orientasinya adalah keuntungan pribadi. 
‎(*******)